Oleh:
Al-Ustadz Abul Fadhel Al-Bughisiy
إرشاد
النبيه إلى بطلان تقولات جماعة التبليغ
على أهل
السنة والجماعة
Setiap ahli bid’ah berusaha membela manhaj dan pemahaman
mereka dengan berbagai macam uslub (cara). Namun semua cara itu adalah
batil. Diantara mereka ada yang menggunakan cara dusta, menyebarkan syubhat,
menghina orang tanpa hujjah, memutar balik fakta, mencari perhatian orang
banyak agar mereka simpati kepadanya, menghujat para ulama sunnah, menggelari
ulama dengan sesuatu yang tidak mereka cintai tanpa berdasarkan bayyinah
(keterangan), dan berbagai macam cara batil lainnya.
Seorang ikhwah fillah Abu Zahroh
-hafizhohullah- yang bermukim di Papua telah mengirimkan kepada kami
sebuah risalah dengan judul “Quo Vadis Mau Kemana Salafy, Hakikat
Salafush Shalih”[1], sebuah tulisan yang disusun oleh dua orang Jama’ah Tabligh: Ustadz
Adil Akhyar, dan Ustadz Muslim Al Bukhori.
Risalah ini merupakan sebuah
pernyataan kejengkelan Tabligh Indonesia ketika mereka mulai dinasihati dan
diingkari oleh para Ahlus Sunnah alias salafiyyin Indonesia. Kedua penulis
risalah ini menggunakan cara licik dalam menjatuhkan citra salafiyyin di mata
masyarakat Indonesia yang mulai simpati dengan dakwah Salafiyyah alias Ahlus
Sunnah.
Cara licik itu, kedua Penulis Quo Vadis Salafy mengaitkan dakwah Salafiyyah dengan dakwah Wahhabiyyah, sehingga seakan-akan menggambarkan bahwa dakwah Ahlus Sunnah taqlid dan fanatik buta kepada Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab -rahimahullah-.
Cara licik itu, kedua Penulis Quo Vadis Salafy mengaitkan dakwah Salafiyyah dengan dakwah Wahhabiyyah, sehingga seakan-akan menggambarkan bahwa dakwah Ahlus Sunnah taqlid dan fanatik buta kepada Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab -rahimahullah-.
Padahal telah masyhur dari manhaj
Ahlus Sunnah bahwa mereka (Ahlus Sunnah alias Salafiyyin) tidaklah menghalalkan
taqlid secara global, kecuali dalam perkara yang sempit sekali!!
Para Salafiyyun amat tahu bahwa taqlid
adalah perkara yang dicela oleh Allah -Ta’ala- dalam Al-Qur’an,
karena seseorang hanya mengikuti orang, tanpa peduli orang yang diikutinya di
atas al-haq atau tidak. Bahkan kebanyakannya di atas kebatilan, dan dosa. Allah
-Ta’ala- berfirman saat mencela orang-orang kafir yang suka taqlid
kepada nenek moyangnya dalam kebatilan,
“Dan apabila dikatakan kepada mereka,
“Ikutilah apa yang Telah diturunkan Allah”, mereka menjawab, “(Tidak), bahkan
kami Hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang
kami”. (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu
tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”. (QS. Al-Baqoroh: 170).
TAQLID kepada seseorang bukanlah merupakan suatu hal yang wajib,
selain taqlid (baca: ittiba’) kepada Rasulullah -Shollallahu
‘alaihi wasallam-.
Karenanya, Al-Imam Malik -rahimahullah-
berkata, “Setiap orang boleh diambil ucapan dan pendapatnya, dan juga
boleh ditinggalkan kecuali penghuni kubur ini”.[2] Maksud beliau adalah Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi
wasallam-.
Jadi, setiap orang bisa diambil
ucapannya, ketika sesuai dengan Sunnah Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi
wasallam-, bahkan itu wajib setelah nyata kebenarannya. Namun apabila tidak
sesuai dengan Sunnah, maka harus dilemparkan jauh-jauh ucapan orang tersebut.
Imam Asy-Syafi’i -rahimahullah-
berkata, “Setiap yang saya ucapkan, lalu di sana ada hadits yang shohih dari
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menyelisihi ucapanku, maka hadits Nabi
Shollallahu ‘‘alaihi wasallam lebih utama (engkau pegangi), dan janganlah
engkau taqlid kepadaku”.[3]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahullah-
berkata, “Sesuangguhnya kapan saja seorang meyakini bahwa wajib atas manusia
untuk mengikuti person tertentu di antara imam-imam yang empat tersebut, tidak
yang lainnya, maka dia wajib dimintai taubat. Jika ia bertaubat (maka ia
dimaafkan). Namun jika tidak taubat, maka ia dibunuh. Paling tidak (yang
benar-pent.) dikatakan (dalam masalah taqlid ini-pent), “Sesungguhnya
boleh, atau seyogyanya, atau wajib bagi orang awam untuk taqlid kepada seorang
ulama siapa saja, tanpa menentukan orangnya bernama Zaid atau Amer”.[4] Adapun jika ada orang yang berkata, “Wajib atas ummat
taqlid kepada fulan atau fulan”, maka ucapan seperti ini tidak akan diucapkan
oleh seorang muslim.
Barangsiapa yang cinta kepada mereka
(para Imam madzhab yang empat), lalu bertaqlid kepada salah satu di antara
mereka dalam perkara yang tampak baginya bahwa (pendapat) itu cocok dengan
sunnah, maka ia telah berbuat benar dalam hal ini. Bahkan ia lebih baik
kondisinya dibandingkan selain dirinya.
Para ulama tersebut, persatuan
mereka merupakan hujjah yang memutuskan (perkara), sedangkan perselisihan
mereka merupakan rahmat yang luas. Maka barangsiapa yang fanatik kepada
salah seorang -secara khusus- di antara mereka, ia ibaratnya seperti
orang-orang Rofidhoh yang fanatik kepada salah seorang di antara sahabat, tidak
kepada yang lainnya, dan juga seperti Khawarij
Ini merupakan jalannya para ahli
bid’ah dan ahwa’ yang telah keluar dari syari’at berdasarkan ijma’ ummat,
Al-Kitab dan Sunnah.
Kemudian mayoritas orang-orang yang
ta’ashshub (fanatik) kepada seseorang, entah kepada Imam Malik, atau
Asy-Syafi’iy, atau Ahmad, atau Abu Hanifah atau yang lainnya, adalah orang yang
jahil tentang derajat ilmu ulama itu dan juga jahil terhadap derajat ulama’
lainnya. Maka ia jahil dan zholim, padahal Allah memerintahkan (kita) untuk
berbuat adil dan melarang berbuat jahil dan zholim.
Kewajiban (kita) adalah mencintai
kaum mukminin dan para ulama, mencari kebenaran dan mengikutinya. Ketahuilah,
barangsiapa yang berijtihad di antara mereka, lalu ia benar, maka ia
mendapatkan dua pahala. Barangsiapa yang berijtihad (di antara mereka) lalu ia
keliru, maka baginya satu pahala.
Negara bagian Timur, di antara sebab
Allah menguasakan orang-orang Turki atas mereka adalah banyaknya perpecahan dan
masalah di antara mereka dalam hal madzhab. Semua itu merupakan perselisihan
yang dicela oleh Allah, karena berpegang teguh dengan Al-Jama’ah dan persatuan
merupakan salah satu di antara prinsip-prinsip agama.
Yang wajib atas seluruh makhluk : mengikuti Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- yang
ma’shum yang tidak berbicara berdasarkan hawa nafsunya; ucapan beliau tiada
lain kecuali ia merupakan wahyu yang diwahyukan.
“Maka demi Tuhanmu, mereka( pada
hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim dalam
perkara yang mereka perselisihan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam
hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
sepenuhnya”.[5]
Berdasarkan sabda Nabi -shollallahu
‘alaihi wasallam-, kondisi dan perbuatan beliaulah, ditimbang seluruh kondisi,
ucapan dan perbuatan”.[6] Demikian
yang dikatakan Syaikhul Islam -rahimahullah-
Dalam kitabnya yang lain, Ibnu
Taimiyyah -rahimahullah- berkata, “Apabila ada suatu permasalahan
yang menimpa seorang muslim, maka ia meminta fatwa seorang ulama yang diyakini
bahwa dia (ulama itu) akan memberinya fatwa berdasarkan syari’at Allah dan
Rasul-Nya dari madzhab manapun. Tidaklah wajib atas seorang di antara
kaum muslimin untuk taqlid kepada pribadi tertentu di antara ulama dalam segala
yang ia katakan. Tidak wajib atas seorang di antara kaum muslimin untuk
melazimi madzhab pribadi tertentu, selain Rasul -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dalam
segala yang beliau wajibkan dan kabarkan. Bahkan setiap orang di antara manusia
boleh diambil (dipegangi) di antara ucapannya atau ditinggalkan kecuali Rasul
-Shollallahu ‘alaihi wasallam-.
Seseorang mengikuti madzhab pribadi
tertentu adalah karena ketidakmampuannya untuk mengenal syari’at dari
selainnya. Hal itu hanyalah boleh baginya,
bukanlah termasuk perkara yang wajib atas setiap orang apabila orang itu
mungkin mengenalnya (syari’at) tanpa melalui jalan (madzhab) tersebut. Bahkan
setiap orang wajib baginya untuk bertaqwa kepada Allah semampunya, dan
menuntut ilmu tentang sesuatu yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Karenanya,
ia bisa mengerjakan sesuatu yang diperintahkan dan meninggalkan sesuatu yang
dilarang, wallahu A’lam. “.[7]
- Judul Buku & Cover-nya
Para Pembaca yang budiman, buku yang
menyudutkan Salafiyyun alias Ahlus Sunnah ini perlu kita berikan catatan ringan
demi menepis tuduhan-tuduhan miring kaum Tabligh yang dilontarkan kepada
Salafiyyun. Buku itu perlu kita kaji dan cermati agar tampak siapa yang berada
di atas al-haq.
“…agar orang yang binasa itu,
binasanya dengan keterangan yang nyata, dan agar orang yang hidup itu, hidupnya
dengan keterangan yang nyata (pula). Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi
Maha mengetahui”. (QS. Al-Anfaal : 42)
Buku yang menyudutkan dakwah
salafiyyah ini diberi judul yang aneh. Judul yang digunakan si Penulis Quo
Vadis Salafy (QVS) -katanya- berasal dari bahasa latin yang arti
harfiyah-nya adalah ke mana engkau pergi? Lanjut -katanya- quo
vadis sering digunakan untuk mereka yang sudah jauh melenceng dari ketentuan
umum yang berlaku. [Lihat QVS (hal. 15)][8]
Penulis dan Editor QVS berusaha
menggambarkan kepada para pembaca bahwa Salafiyyun alias Ahlus Sunnah adalah
orang-orang yang menyimpang dari Al-Qur’an dan Sunnah. Insya Allah, anda akan
lihat siapa sebenarnya yang melenceng dari kebenaran, Tabligh atau Salafi?
Buku Quo Vadis Salafy
ini diterbitkan oleh Putaka Zaadul Ma’aad, tanpa tahun. Buku ini diedit khusus
(?) oleh seorang da’i jurnalis yang bernama Ustadz Abdurrahman Lubis[9]. Desain cover-nya tampak dari luar seorang
laki-laki berkaca mata yang menengadahkan kepalanya ke beberapa lampu merah.
Ini merupakan illustrasi tentang orang yang bingung, hendak kemana mereka
berjalan di atas dunia ini. Siapa yang bingung?!!Nanti kita lihat hasilnya,
Insya Allah -Ta’ala-.
Cover ini menunjukkan bahwa mereka (Jama’ah Tabligh) adalah kaum
yang jauh dari petunjuk dan sunnah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-,
walaupun mereka gembar-gembor menyatakan sebagai kaum yang gigih mengamalkan
sunnah. Kenapa mereka jauh dari Sunnah? Lihat saja mereka meremehkan gambar
makhluk bernyawa, sementara Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-
mengharamkannya.
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa
sallam- bersabda mengharamkan gambar makhluk bernyawa,
لاَ تَدْخُلُ الْمَلاَئِكَةُ بَيْتًا
فِيْهِ صُوْرَةٌ
“Malaikat tidak akan masuk ke dalam
rumah yang di dalamnya ada gambarnya”.
[HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (3054), dan Muslim dalam Shohih-nya
(2106)].
An-Nawawiy -rahimahullah- berkata, “Para ulama telah
berkata, “Sebab keengganan para malaikat untuk masuk ke dalam sebuah rumah yang
ada gambarnya, karena gambar itu dianggap sebagai maksiat yang keji. Pada
gambar itu terdapat usaha menandingi ciptaan Allah -Ta’ala-. Sebagian gambar
itu dalam rupa sesuatu yang disembah selain Allah -Subhanahu wa Ta’ala-”. [Lihat
Syarh Shahih Muslim (14/84)].
Demikianlah hukum gambar menurut
sunnah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Adapun “sunnah” Tabligh,
maka hal itu adalah remeh. Bayangkan da’i Tabligh menghalalkan gambar yang
diharamkan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Demikiankah
pengikut dan “pendakwah sunnah”?!
- Maksud dan Defenisi Salaf
Para ulama kita telah menjelaskan
maksud dan batasan kata “salaf” atau “As-Salaf Ash-Sholih”,
yaitu Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan para sahabatnya serta
orang-orang yang mengikuti mereka dari kalangan tabi’in, tabi’ut tabi’in dan
ulama-ulama yang mengikuti sunnah, baik yang berkaitan dengan aqidah, ibadah,
dan akhlaq. [Lihat Mauqif Ahlis Sunnah wal Jama'ah (1/62-63)]
Bahkan menurut Al-Baijuriy dalam
kitabnya Syarah Jauharoh At-Tauhid (hal. 111), bahwa yang
dimaksud dengan “salaf” adalah semua orang yang mendahului kita dari kalangan
para nabi, sahabat, dan tabi’in. [Lihat Basho'ir Dzawi Asy-Syarof
(hal. 19) karya Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaly, cet. Maktabah Al-Furqon, 1420
H][10]
Apabila dikatakan “salaf”,
maka biasanya yang dimaksud adalah tiga generasi yang utama (sahabat, tabi’in,
dan tabi’ut tabi’in). Adapun orang yang berusaha menapaki jalan dan sunnah
mereka dalam perkara aqidah, ibadah dan akhlaq, maka mereka biasa disebut
dengan salafi (jamaknya: salafiyyun), artinya: pengikut
salaf.
Penulis Quo Vadis Salafy
memiliki pendapat nyeleneh dalam perkara ini, saat Penulis mengingkari bolehnya
menggunakan label salafy.[11]
Menggunakan label “salafi” ini
adalah sesuatu yang syar’iy, jika disana ada hajat yang menuntut hal tersebut,
misalnya: banyaknya orang-orang yang menyimpang dari jalan salaf. Maka ketika
itu kita boleh menyatakan bahwa diri kita sebagai salafi (pengikut salaf). Ini
tak ada salahnya.
Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhailiy
As-Salafiy -hafizhohullah- berkata ketika menjelaskan bolehnya
menggunakan kata salafy, “Ini adalah perkara yang boleh menurut
bahasa. Sebagaimana halnya benar bagi kita bilang, “Sunni” sebagai penisbatan
diri kepada Ahlus Sunnah, maka benar juga kita katakan, “Salafy” sebagai
penisbatan diri kepada salaf; tak ada bedanya!!”. [Lihat Mauqif Ahlis
Sunnah ()]
Adapun ucapan Penulis Quo
Vadis Salafy,
“Belum ditemui satu pun riwayat
shahih, bahwa ada diantara Imam Mujtahid seperti: Imam Syafi’i, Abu Hanifah,
Ahmad Ibn Hambal, Malik dan lainnya menyebut diri dan pengikutnya sebagai salafy
; tidak juga para Imam ahli hadits seperti Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at
Tirmidzi dan lainnya…Seandainya predikat atau labelisasi seperti ini
dipandang “sangat penting”, semestinya mereka paling layak disebut Salafy. Mereka
semestinya yang pertama “mempopulerkan” istilah ini. Ternyata jangankan mereka,
Ibn Taimiyyah sendiri tak pernah menggunakan istilah salafy untuk
menyebut dan mendefinisikan harakah, atau madzhabnya dan para
pengikutnya”. [Lihat Quo Vadis Salafy (hal. 16-17)]
Para pembaca yang arif, jawaban
syubhat ini ada beberapa sisi:
Pertama, para imam –jika memang mereka tak pernah demikian-
tidaklah menyebut diri mereka salafy, karena tak ada hajat ketika itu. Semua
orang sudah tahu mereka adalah salafy. Sama ibaratnya dengan seorang
guru sekolah, ia tak perlu menulis di belakang namanya fulan guru SMA. Ini
tak perlu, kecuali dalam sebagian kondisi, yakni saat ada hajat.
Kedua, penggunaan kata salafy (pengikut salaf) sama
artinya dengan sunny (pengikut Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Nah, kami
bertanya kepada si Penulis QVS, “Apakah para ulama itu pernah menyatakan diri
sebagai sunny ?!”
Ketiga, murid-murid Imam Malik -misalnya- yang mengikuti metode fikih
Imam Malik dan lainnya, apakah mereka menamakan diri dengan maliky, hanafy,
syafi’iy, dan hambaly, dan tercelakah hal tersebut?!
Keempat, madzhab Asy’ariy dan Maturidiy yang kalian anggap sebagai
Ahlus Sunnah, tak ada diantara para sahabat atau tabi’in yang melabeli diri
mereka dengan Asy’ariy atau Maturidy. Kalau tak ada, nah apakah madzhab
Asy’ary, dan Maturidy adalah dua madzhab yang batil?![12]
Kelima, sepanjang pengetahuan kami, tak ada diantara sahabat yang
menyatakan dirinya Ahlus Sunnah. Ketika tak ada yang menyebut diri mereka
sebagai Ahlus Sunnah, apakah kita yang mengikuti mereka juga tak boleh
menggunakan istilah Ahlus Sunnah. Nah, bingungkan wahai Jama’ah Tabligh??!
Keenam, para ulama ketika butuh untuk menampakkan madzhab dan
aqidahnya dalam beragama, maka mereka menggunakan label salafy atau atsary
(pengikut atsar/hadits). Tak ada yang mengingkari penggunaan istilah itu,
kecuali orang-orang bingung dari kalangan ahli bid’ah, semisal JT.
Sekali lagi, menamakan diri dengan
As-Salafiy atau Al-Atsariy, ini tak apa, jika seorang berada di atas manhaj dan
aqidah salaf. Karenanya, penggunaan nama Al-Atsariy atau As-Salafiy di akhir
nama, atau dalam menyifati seseorang sudah menjadi perkara yang masyhur di
kalangan salaf.
Kali ini kami akan menukilkan
nama-nama para ulama Ahlus Sunnah yang terkenal dengan istilah salafy atau
atsary agar menjadi bahan renungan bagi Jama’ah Tabligh –khususnya
Penulis QVS-. Nukilan ini kami ambilkan dari kalam ulama berikut:
Al-Imam Adz-Dzahabiy -rahimahullah-
berkata, “Syu’bah bin Abdullah bin Ali Abu Bakr Ath-Thusiy Al-Atsariy“.[Lihat
Tarikh Al-Islam (1/3421)]
Al-Imam Adz-Dzahabiy -rahimahullah-
berkata, “Al-Husain bin Abdil Malik bin Al-Husain bin Muhammad bin Ali
Asy-Syaikh Abu Abdillah Al-Ashbahaniy Al-Khollal Al-Adib An-Nahwiy Al-Bari’
Al-Muhaddits Al-Atsariy“.[Lihat Tarikh Al-Islam
(1/3673)]
Al-Imam Adz-Dzahabiy berkata, “Muhammad
bin Ahmad bin Kholaf bin Biisy Abu Abdillah Al-Abdariy Al-Andalusiy Al-Atsariy“.[Lihat
Tarikh Al-Islam (1/3758)]
Al-Imam Adz-Dzahabiy berkata ketika
menyebutkan orang-orang yang lahir sekitar tahun 593 H, “…dan Az-Zahid Ahmad
bin Ali Al-Atsariy“.[Lihat Tarikh Al-Islam
(1/4234)]
Al-Imam Adz-Dzahabiy berkata ketika
menyebutkan murid-murid Ibnul ‘Uwais, “…dan Ash-Sholih Abdul Karim bin
Manshur Al-Atsariy“.[Lihat Tarikh Al-Islam
(1/4524)]
Ash-Shofadiy -rahimahullah-
berkata, “Muhammad bin Musa bin Al-Mutsanna Al-Faqih Al-Baghdadiy Al-Atsariy
Ad-Dawudiy Azh-Zhohiriy. Dia adalah seorang ahli fiqih yang cerdas;
meninggal tahun 385 H”.[Lihat Al-Wafi fil Wafayat (1/4524)]
Ash-Shofadiy -rahimahullah-
berkata, “Abdur Rahim bin Muhammad bin Ahmad bin Faris Asy-Syaikh Ash-Sholih
Abu Muhammad Ibnul Zajjaj Afifuddin Al-Altsiy Al-Baghdadiy Al-Hambaliy Al-Atsariy
;lahir 612 H, dan meninggal tahun 685 H”.[Lihat Al-Wafi fil Wafayat
(1/2647)]
Al-’Iroqiy berkata tentang dirinya
di awal manzhumah alfiyyah-nya,
يقول راجي ربه المقتدر … عبد الرحيم
بن الحسين الأثري
“Orang yang berharap kepada Robb-nya
Yang Maha Kuasa…
Abdur Rahim bin Al-Husain Al-Atsariy“. [13]
Al-Allamah As-Sakhowiy -rahimahullah- berkata saat menjelaskan makna kata
“Al-Atsariy”, “ Al-Atsariy (dengan men-fathah hamzah-nya dan
tsa’-nya) merupakan nisbah kepada atsar. Sedang dia (kata atsar) secara bahasa
adalah jejak. menurut istilah, (atsar) adalah haditshadits yang marfu’ atau
mauquf menurut pendapat yang dijadikan standar”.[Lihat Fath
Al-Mughits (1/7), cet. Darul Kutub Al-'Ilmiyyah, 1403 H]
Al-Imam Adz-Dzahabiy berkata tentang
Abu Isma’il Al-Harowiy (Penulis Dzammul Kalam)[14], “Dahulu Syaikhul Islam (Al-Harowiy) adalah seorang atsariy
sejati; ia biasa mendapatkan celaan dari para ahli kalam”.[Lihat Siyar
A'lam An-Nubala' (18/506)]
Al-Imam Adz-Dzahabiy -rahimahullah-
berkata tentang Yusuf bin Muhammad Al-Hauroniy, “Dia adalah syaikh yang
mulia, sunniy, atsariy, sholih, qona’ah, dan menjaga kesucian
diri”.[Lihat Mu'jam Al-Mukhtash bi Al-Muhadditsin (hal.19)]
As-Sam’aniy -rahimahullah-
berkata dalam Al-Ansab (1/84), “Al-Atsariy (dengan men-fathah
alif-nya dan tsa’nya, diakhirnya ada ro’), nisbah ini kepada atsar, yakni
hadits, pencarian hadits, dan pengikutnya. Telah masyhur dengan nisbah seperti
ini Abu Bakr Sa’d bin Abdillah Al-Atsariy Ath-Thusiy”.
Al-Imam Adz-Dzahabiy berkata tentang
Al-Imam Ad-Daruquthniy, “Orang ini (yaitu, Ad-Daruquthniy) tak pernah masuk
ke dalam ilmu kalam dan jidal, dan tidak pula terjun ke dalamnya, bahkan ia
adalah salafiy“.[Lihat Siyar A'lam An-Nubala'
(16/457)]
Al-Imam Adz-Dzahabiy berkata tentang
Al-Imam Muhammad bin Muhammad Al-Bahroniy, “Dia adalah seorang yang taat
beragama, orangnya baik lagi salafiy“.[Lihat Mu'jam
Asy-Syuyukh (2/280)]
Al-Imam Adz-Dzahabiy berkata tentang
Al-Imam Sholahuddin Abdur Rahman bin Utsman bin Musa Al-Kurdiy Asy-Syafi’iy, “Dia
adalah seorang salafiy bagus aqidahnya”.[Lihat Tadzkiroh
Al-Huffazh (4/1431)]
Al-Imam Adz-Dzahabiy berkata tentang
Al-Imam Abdullah Ibnul Muzhoffar bin Abi Nashr bin Hibatillah, “Dia adalah
seorang yang tsiqoh (terpercaya), sholeh, lagi salafiy“.[Lihat
Tarikh Al-Islam (1/4236)]
Al-Imam Adz-Dzahabiy berkata tentang
Al-Imam Al-Qodhi Abul Hasan Umar bin Ali Al-Qurosyiy Abil Barokat Ad-Dimasyqiy,
“Dia adalah seorang yang waro’, sholeh, beragama, lagi salafiy“.[Lihat
Tarikh Al-Islam (1/4849)]
Al-Imam Adz-Dzahabiy berkata tentang
Al-Imam Abdur Rahman bin Al-Khodhir bin Al-Hasan bin Abdan Al-Azdiy, “Dia
adalah seorang sunniy, salafiy , lagi atsariy
–semoga Allah merahmatinya-”.[Lihat Tarikh Al-Islam (1/4861)]
Al-Imam Ash-Shofadiy berkata tentang
Al-Imam Tajuddin At-Tibriziy Asy-Syafi’iy, “Dia adalah seorang salafiy
, lagi tegas menyatakan kebenaran”.[Lihat Al-Wafi fil Wafayat (1/2603)]
Al-Hafizh Ibnu Abdil Hadi -rahimahullah-
berkata tentang Gurunya, yakni Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, “Beliau
senantiasa di atas hal itu (sibuk dengan ilmu) sebagai generasi penerus yang
sholeh lagi salafiy“.[Lihat Al-'Uqud Ad-Durriyyah (hal.21)]
Inilah beberapa nukilan dan
pernyataan ulama’-ulama’ tentang bolehnya seseorang menamakan diri dengan salafiy.
Jika pengakuannya sesuai dengan realita dirinya; ia benar-benar berada di atas
jalan Salaf, maka tak ada salahnya ia menamai dirinya dengan salafy.
Perhatikan para ulama kita di atas mereka digelari dan dikenal dengan istilah salafy
atau atsary ; tak ada yang mengingkari hal itu, kecuali setelah
lahirnya Jama’ah Tabligh dan sehaluannya.[15]
Adapun jika seseorang tak sesuai
manhajnya dengan manhaj salaf, dalam artian ia adalah sufi, atau ahli kalam
(seperti, Asy’ariyyah dan Maturidiyyah), lalu mengaku sebagai salafy
alias Ahlus Sunnah, maka inilah yang tak dibolehkan, dan inilah kondisi
Jama’ah Tabligh yang suka mengaku tanpa bukti.[16]
Jadi, Asy’ariyyah dan Maturidiyyah
bukanlah pengikut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, sebab mereka adalah ahli kalam yang
telah di-tahdzir (diingatkan bahaya penyimpangannya) oleh para salaf.[17]
Kembali kami tekankan bahwa yang
dimaksud dengan salaf, mereka adalah Nabi -Shallallahu alaihi wa
sallam- , sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan para imam yang mengikuti jalan
mereka. Ini yang dimaksud SALAF.
Lalu dari manakah Ustadz Adil Akhyar
dan Ustadz Muslim Al Bukhori mendapatkan penjelasan bahwa yang dimaksud dengan
Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah Asy’ariyyah dan Maturidiyyah. Jawabnya, tentu
dari orang-orang yang terpengaruh dengan ilmu kalam, semisal Az-Zubaidiy
(seorang yang bermanhaj Asy’ariyyah). Ini menyelisihi pernyataan para ulama
kita saat mendefinisikan kata salaf atau Ahlus Sunnah sebagaimana yang dinukil
sendiri Penulis dan Editor QVS. [Lihat QVS (hal. 19 dan 63)]
- Antara Wahhabiyyah dan Ahlus Sunnah
Penulis QVS dalam hal ini berusaha
membedakan antara Ahlus Sunnah dan Wahhabiyyah (Pengikut Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab). Di lain sisi, ia menyamakan Wahhabiyyah dengan Salafy.[18] [Lihat QVS (hal. 109)]
Dari sini tampak kelicikan Penulis
QVS dalam menyudutkan setiap orang
yang tidak sepaham dan seakidah dengannya. Nah, setiap orang yang ia benci
–walaupun ia Ahlus Sunnah-, maka Penulis menggelarinya sebagai “Wahhabiy”.
Padahal kata salafiy, artinya dalam bahasa Arab adalah pengikut salaf,
yakni orang yang berteladan dengan para sahabat. Orang seperti ini kok dicela.
Tapi para pembaca maklum saja, karena memang kedua Penulis QVS
memang kerjanya suka mencela, bahkan mengkafirkan ulama Ahlus Sunnah, semisal
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah yang telah menghabiskan umurnya membela sunnah,
dan menepis bid’ah.
Jadi, selain Wahhabiy, semua
adalah Ahlus Sunnah, walaupun ia adalah ahli kalam. Ini konsekuensi dari sikap
Penulis QVS. Karenanya, Penulis QVS menggolongkan
kaum ahli kalam dari kalangan Asy’ariyyah dan Maturidiyyah sebagai Ahlus
Sunnah. Sungguh ini adalah kerancuan dan kebingungan dalam berpikir pada kedua Penulis
QVS. si Penulis QVS menyangka bahwa yang diajak
bicara hanyalah orang-orang dungu, dan anak kecil yang tidak memahami arti kata
yang keluar dari mulut dan pena Penulis.
Para Pembaca yang budiman, dengan melihat kerancuan dan kebingungan Penulis QVS,
maka kami perlu jelaskan bahwa Ahlus Sunnah wal Jama’ah itu adalah mereka yang
berusaha mengikuti dan merealisasikan Sunnah Nabi -Shallallahu alaihi wa
sallam- berdasarkan pemahaman Salaf (para sahabat). Mereka memiliki
beberapa nama yang masyhur, diantaranya adalah salaf atau salafiyyun,
Ath-Tho’ifah Al-Manshuroh (kelompok yang ditolong), Al-Firqoh
An-Najiyah (Golongan yang Selamat), Ahlul Hadits, dan
Ahlul Atsar.[19]
Seorang menamai dirinya sebagai salafiy,
bukan berarti ia keluar dari nama yang syar’iy, yaitu Islam. Bahkan nama
salafiy adalah Islam itu sendiri, seperti halnya kata “Ahlus Sunnah wal
Jama’ah”, Ath-Tho’ifah Al-Manshuroh, Al-Firqoh An-Najiyah, Ahlul Atsar
(Al-Atsariyyah), Ahlul Hadits, Sunniy, Salaf (salafiyyah/salafiyyun). Semua ini
adalah nama-nama bagi seorang atau golongan yang berada di atas Al-Kitab dan
sunnah berdasarkan pemahaman salaf. Sedang orang yang demikian disebut muslim
yang hakiki.
Bukan seperti yang digambarkan oleh
Editor QVS (Ustadz A. Lubis) bahwa label salafy adalah
sesuatu yang tak syar’iy. [Lihat QVS (hal. 42)]
Padahal kata salafy
itu sendiri, artinya adalah orang mengikuti Islam yang murni dan hakiki
sebagaimana yang pernah dianut oleh para sahabat dahulu di zaman kenabian.
Jadi, jika Al-Qur’an atau hadits menyebut kata “Sunnah”, maka yang
dimaksud adalah Islam murni yang belum ternodai oleh bid’ah dan pemikiran
menyimpang[20].
Nah, Islam murni inilah yang kita
istilahkan dengan “Manhaj Salaf” alias “Salafiyyah”. Orang yang mengikuti agama
Islam murni itu disebut dengan “salafiy” (jamaknya: salafiyyun) yang
bermakna: orang-orang yang mengikuti salaf, yakni sahabat yang pernah
mengikuti dan menganut agama Islam murni.
Saya kira ini jelas bagi semua
kalangan, kecuali orang-orang yang buta mata hatinya dari kalangan ahli bid’ah
dan ahli kalam!!! Nas’alullahal afiyah was salamah minal fitan wa ahlih.
Para Pembaca yang arif dan bijak, SALAFIYYUN
memiliki nama yang banyak, namun nama-nama itu bermuara dalam satu makna, yaitu
Islam hakiki, Islam yang belum dinodai oleh bid’ah, Islam yang pernah diajarkan
oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-; diyakini, dan diamalkan oleh
para sahabat -radhiyallahu ‘anhum-.
Syaikh Ibrahin bin Amir Ar-Ruhailiy -hafizhahullah-[21]telah menyebutkan beberapa nama bagi Ahlus sunnah setelah
menjelaskan bahwa Ahlus Sunnah tidak memiliki nama, dan gelar yang masyhur
baginya, selain Islam. Tapi kenapa Ahlus Sunnah memiliki nama-nama, apakah
nama-nama itu keluar dari makna dan kandungan Islam.
Menjawab hal ini, Syaikh Ibrahin
bin Amir Ar-Ruhailiy -hafizhahullah- berkata, “Tatkala telah
muncul bid’ah dalam Islam, kelompok-kelompok sesat berbilang, dan senuanya
mengajak kepada bid’ahnya –disamping mereka menisbahkan kepada Islam pada
lahiriahnya-, maka para pengikut kebenaran, dan pemilik aqidah yang benar, yang
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- meninggalkan ummat di atasnya, tanpa
dikotori oleh suatu noda, atau disusupi oleh sesuatu berupa hawa dan bid’ah;
ketika itu mereka (Ahlus Sunnah) haruslah dikenal dengan nama-nama yang membedakan
mereka dari para pelaku bid’ah, dan penyimpangan dalam aqidah ini. Maka
ketika itu muncullah nama-nama mereka yang syar’iy dan bersumber dari Islam.
Maka diantara nama mereka: Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Al-Firqoh An-Najiyah,
Ath-Tho’ifah Al-Manshuroh, dan As-Salaf. Apa yang masyhur berupa nama-nama ini,
ini tidaklah menyelisihi sesuatu yang telah lewat penetapannya bahwa mereka
(Ahlus Sunnah) tidak memiliki nama dan gelar yang mereka dikenal dengannya,
selain Islam, karena nama-nama ini menunjukkan Islam. Namun tatkala orang yang
tidak menerapkan Islam dengan sebenarnya dari kalangan ahli bid’ah menisbahkan
diri kepada Islam, maka muncullah nama-nama ini untuk membedakan antara
orang-orang yang menerapkan Islam dengan benar –dan mereka adalah Ahlus
Sunnah-, dan antara orang-orang yang menyimpang darinya. Barang siapa yang yang
mau merenungi nama-nama ini (nama-nama Ahlus Sunnah), maka akan nampak baginya
bahwa nama-nama itu seluruhnya menunjukkan Islam. Sebagian nama-nama itu tsabit
(ada) berdasarkan nash dari Rasul -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, dan
sebagiannya hanyalah terjadi bagi mereka karena keutamaan mereka menerapkan
Islam dengan benar”.[Lihat Mauqif Ahlis Sunnah wal Jama'ah min Ahli
Al-Ahwa' wal Bida' (1/44-45), cet. Maktabah Al-Ghuroba' Al-Atsariyyah]
Jadi, disini perlu kita luruskan
bahwa Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab yang pernah memperjuangkan agama
Allah di Jazirah Arab, beliau adalah ulama Ahlus Sunnah yang telah mengambil
aqidah dan agama beliau dari Al-Kitab dan Sunnah berdasarkan pemahaman salaf.
Yang menjadi bukti abadi dalam hal ini adalah kitab-kitab yang beliau tulis.
Tak ada kitab yang beliau tulis, kecuali berisi ayat-ayat dan hadits-hadits
beserta atsar yang beliau sarikan dari penjelasan para ulama sebelum beliau[22]. Beliau bukanlah perintis madzhab dan sekte baru.
Jika ada yang menuduh beliau sesat
atau kafir, tolong datangkan sebuah contoh kesesatan atau kekafiran beliau dari
kitab-kitab beliau sendiri. Kami yakin tak ada yang mampu, kecuali ia akan
dusta atas nama beliau. Jika beliau keliru dalam berijtihad, maka beliau adalah
manusia biasa sebagaimana kata Al-Imam Malik -rahimahullah- berkata,
كُلُّ أَحَدٍ يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ
وَيُتْرَكُ إِلاَّ صَاحِبَ الْقَبْرِ
“Setiap orang boleh diambil ucapan
dan pendapatnya, dan juga boleh ditinggalkan kecuali penghuni kubur ini”.[23] Maksud beliau adalah Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi
wasallam-.
Kapan diambil? Diambil saat sesuai
dengan Sunnah, dan ditolak jika tak sesuai sunnah!! Nah, sekarang mana aqidah
beliau yang sesat, tak sesuai dengan sunnah???! Jawabnya tentu sulit. Kalau hanya
sekedar menuduh, yah gampang. Anak kecil dan orang gila pun bisa menuduh.
Wahai Penulis QVS,
ketahuilah bahwa menyesatkan dan mengkafirkan orang adalah sesuatu yang
berbahaya jika tidak dilandasi dengan ilmu dan bayyinah. Kalian akan
ditanyai ilmunya di sisi Allah. Dosanya besar wahai Jama’ah, sebab mengotori
kehormatan seorang muslim, dan berkata dusta atas nama Allah adalah dosa besar.
Bahkan boleh jadi kesesatan dan kekafiran itu akan kembali kepada anda,
sehingga akhirnya kalianlah yang kafir. Wal’iyadzu billah.
Nabi -Shallallahu alaihi wa
sallam- bersabda,
أَيُّمَا رَجُلٍ قَالَ لِأَخِيهِ يَا
كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا
“Barangsiapa yang berkata kepada
saudaranya, “Wahai si kafir”, maka sungguh ucapan ini akan kembali kepada
seorang diantara keduanya”. [HR.
Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (6104)]
Ini merupakan kecaman keras bagi
orang yang mengkafirkan orang tanpa ilmu dan hujjah; serampangan dalam
mengkafirkan sebagaimana yang dilakukan oleh JT terhadap Salafiyyun.
- Awal Penggunaan Istilah Salafy
Abdur Rahman Lubis, Editor QVS
(Quo Vadis Salafy) berusaha menjelaskan dengan kebingungannya
bahwa istilah salafy pertama kali dimunculkan oleh Syaikh Al-Albaniy -rahimahullah-.
Dengarkan Bang Lubis berkata,
“Sebutan Salafy pertama kali
dari Syekh Nashiruddin Al-Albaniy sebagaimana terekam dalam dialog antara
Albani dengan seorang pengikutnya, Abdul Halim Abu Syuqqah.Albani mendefenisi Salafy
sebagai “orang-orang yang mengikuti cara beragama salafus shalih dalam
memahami Islam”.Bang Lubis juga berkata, “Gaung salafy baru muncul
sekitar awal kurun kedua puluh ketika kedua kali Wahaby berhasil menguasai
Hijaz. Mendirikan Negara berbentuk kerajaan, bukan Daulah Islamiyyah atau
Khilafah Islamiyyah”. [Lihat QVS (hal. 17-18)]
Menjawab pernyataan ini, biidznillah
kami tanggapi dalam beberapa poin dan permasalahan berikut:
1.
Penggunaan sebutan dan istilah
salafy telah masyhur, jauh sebelum lahirnya Al-Imam Al-Mujaddid Muhammad
Nashiruddin Al-Albaniy sebagaimana hal itu telah masyhur dalam ucapan para
ulama dari zaman ke zaman.
Penisbatan diri kepada salaf telah
masyhur di kalangan ulama kita sebagaimana anda bisa lihat dalam kitab-kitab
yang berbicara tentang nasab.
Abu Bakr As-Suyuthiy -rahimahullah-
berkata,
السلفي: بفتحتين وفاء إلى مذهب السلف
“Salafy: dengan dua fathah dan huruf
fa’ (adalah penisbatan diri) kepada madzhab salaf”. [Lihat Lubb
Al-Lubab fi Tahrir Al-Ansab (hal. 45)]
Penisbatan diri kepada salaf telah
masyhur di kalangan ahli sejarah. Lihat saja -misalnya- kitab Al-A’lam
karya Khoiruddin Az-Zirikliy, kalian akan menemukan banyak tokoh yang disebut
dengan istilah salaf sebelum dan setelah munculnya dakwah tauhid yang diusung
oleh Mujaddidul Islam Al-Imam Al-Faqih Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab
As-Salafiy Al-Atsariy –rahimahullah rahmatan wasi’ah-.
Sebelum Az-Zirikliy, ada Imam Abul
Muzhoffar As-Sam’aniy dalam Al-Ansab telah menyebutkan sejumlah
tokoh yang terkenal dengan sebutan dan label Salafy sebagaimana halnya
Al-Imam Adz-Dzahabiy dan Ash-Shofadiy juga menyebutkan hal tersebut dalam
kitab-kitab mereka. Jadi, orang yang menyatakan bahwa Syaikh Albaniy yang
pertama kali memunculkan istilah salafy adalah orang-orang yang tak
memahami sejarah.[24]
2. Abdul Halim Abu Syuqqoh, dikatakan oleh Pengedit QVS bahwa
ia adalah pengikut Syaikh Al-Albaniy. Abdul Halim Abu Syuqqah hanyalah seorang
yang menggeluti dunia tulis-menulis yang datang bertamu kepada Syaikh
Al-Albaniy. Jika dikatakan ia adalah pengikut dalam artian murid Al-Albaniy,
maka jelas keliru. Bila maksudnya adalah orang yang mengikuti manhaj beliau,
manhaj Ahlus Sunnah, wallahu a’lam tentang hal itu.
3. Perhatikan kebingungan Pengedit QVS[25] yang menyatakan bahwa gaung salafy baru muncul ketika Daulah
Su’udiyyah menguasai Hijaz. Ini jelas merupakan tipuan dan kecohan yang
memberikan gambaran bahwa dakwah salafiyyah tak pernah ada sebelumnya, tapi
nanti muncul di zaman Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab[26].
Ketahuilah bahwa dakwah salafiyyah
telah muncul sejak diutusnya Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- kepada
umat manusia. Oleh karena itu, Editor QVS sendiri yang menyatakan
demikian ketika ia menukil ucapan seorang yang berkata, “As Salafiyyah
mereka yang berjalan atas Manhaj Salaf dari kalangan sahabat dan
tabi’in dan generasi terbaik, yang mereka mengikutinya dalam hal aqidah, manhaj,
dan metode dakwah”. [Lihat QVS (hal. 19)]
Bahkan orang yang diagungkan oleh
Penulis & Pengedit QVS, yaitu Al-Bajuuri berkata dalam Syarah
Jauharut Tauhid (hal. 111), “Yang dimaksud dengan salaf adalah
orang-orang yang terdahulu yaitu para Nabi, Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut
Tabi’in”. [Lihat QVS (hal. 63)]
Pernyataan Al-Bajuuri ini
meruntuhkan pemikiran dan kebingungan Abdur Rahaman Lubis (Editor QVS)
dan Penulis QVS yang menyatakan bahwa istilah salafiy tidak
syar’iy. Sebab jika salaf sudah ada sejak zaman kenabian, maka berarti
pengikutnya harus ada. Nah, pengikut salaf itulah yang kita istilahkan
“salafy”.
Kalau Jama’ah Tabligh mau jujur,
mestinya mereka jangan menggunakan istilah “Jama’ah Tabligh”, “Karkun”,
“Jaulah”, “Bayan” dan “Khuruj”, sebab
semua istilah ini tak pernah digunakan di zaman Nabi -Shallallahu alaihi wa
sallam- dan para sahabat. Terlebih lagi istilah-istilah itu digunakan untuk
program dan amaliah bid’ah yang tak pernah dicontohkan oleh para salaf.
Misalnya, “khuruj“; di dalam JT, semua harus khuruj (keluar
berdakwah), entah ia jahil atau berilmu. Mana ada contohnya dari Nabi -Shallallahu
alaihi wa sallam- dan para salaf berdakwah asal-asalan seperti itu. Mereka
ibaratnya orang yang tak pandai berenang, lalu berusaha menyelamatkan
orang-orang yang hampir tenggelam. Akhirnya, ia mati bersama orang yang hendak
ditolong tersebut.
Seorang yang tak berilmu lalu terjun
ke medan dakwah, maka ia akan banyak menimbulkan kerusakan, sebab pasti ia akan
mengada-ada atas nama Allah. Sedang mengada-ada atas nama Allah adalah
perbuatan haram. Allah -Ta’ala- berfirman,
“Katakanlah: “Tuhanku Hanya
mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi,
dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar,
(mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan
hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang
tidak kamu ketahui“. (QS.
Al-A’raaf : 33)
Mengada-ada seperti ini banyak kita
jumpai pada Jama’ah Tabligh saat mereka menulis buku atau saat menyampaikan
ceramah. Lihat saja buku rujukan mereka yang berjudul Fadho’il A’mal,
karangan Muhammad Zakariyya Al-Kandahlawiy.
- Asal Salaf dan Manhaj Salaf
Kata “salaf” telah
digunakan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam sabda beliau,
فاتقي الله واصبري فإنه نعم السلف
أنا لك
“Bertaqwalah kepada Allah, dan
bersabarlah, karena sebaik-baik Salaf (pendahulu) bagimu adalah saya“.[27]
Jadi, asal kata “salaf”
telah ada di zaman Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan para
sahabatnya. Oleh karena itu, aneh jika ada yang mengingkari penggunaannya
dengan berbagai macam alasan yang tidak bisa diterima oleh orang yang memiliki
pikiran yang sehat.
Sikap salah seperti ini telah
dinyatakan oleh Abdur Rahman Lubis dalam mukaddimah terhadap Quo Vadis
Salafy. Dia mengingkari penggunaan istilah dan label “salafy”
dengan alasan karena kekhawatirannya jangan sampai istilah itu digunakan oleh
orang yang menyelisihi manhaj salaf.
Kita dengarkan sang Editor “Ulung”
berkata dalam QVS (hal. 20) usai membawakan hadits di atas,
“Cukup jelas penamaan salaf dan
penisbahan diri kepada manhaj salaf sebagai landasan kuat telah lama
dikenal.[28] Jadi, siapa saja yang keyakinan dan amalannya mengikuti
salafus shalih maka ia pasti berada di jalan yang benar. Di sini yang
dimaksud adalah keyakinan dan amalan, bukan predikatnya, karena Rasulullah saw.
pun bukan sebutan belaka, tapi contoh terbaik. Jadi tanpa menyebut
diri salafy, kalau keyakinan dan amalannya mendukung insya Allah dia
pengikut salafush shalih. Namun jika seseorang atau suatu jama’ah
mengaku diri salafy, ternyata keyakinan dan amalannya tidak sama dengan salafush
shalih, inilah kepalsuan. Karena kejahilan kita[29] hari ini muncul anggapan manhaj salaf suatu aliran,
kelompok , atau sekte baru. Anggapan lain karena ungkapan, pengakuan, dan
penamaan diri atau kelompok yang rancu dan membingungkan”. [Lihat QVS
(hal. 20)]
Sanggahan ucapan sang Editor “Ulung”
ada dalam beberapa jawaban berikut ini:
1.
Tampak bahwa sang Editor QVS
mengingkari penggunaan salafy karena kekhawatirannya jangan sampai label
(nama) dan istilah itu digunakan oleh orang yang tidak mencocoki keyakinan
salafus shalih. Dengan anggapan seperti ini dia melarang kita menggunakan
istilah salafy. Bagaimana jika seseorang yang mengaku salafy adalah
orang yang memiliki keyakinan dan amalan yang sesuai dengan keyakinan (aqidah)
dan amalan salafush shalih??! Pertanyaan seperti ini akan membungkam mulut
Penulis dan Pengedit QVS, bahkan akan membuat mereka bingung dan terdiam seribu
bahasa!!
Allah -Ta’ala- berfirman ketika
mencela ahli Kitab yang mendebat orang tanpa ilmu, dan inilah yang dilakukan
oleh Penulis dan Pengedit QVS,
“Beginilah kalian, kalian ini
(sewajarnya) bantah membantah tentang hal yang kamu ketahui, maka kenapa kamu
bantah membantah tentang hal yang tidak kamu ketahui? Allah mengetahui sedang
kamu tidak mengetahui”. (QS. Ali
Imraan : 66)
2. Kata salafy bukanlah predikat yang harus
disombongkan, tapi ia adalah predikat yang harus disyukuri di hadapan Allah -Azza
wa Jalla-. Karenanya, sebagian ulama kita walaupun mereka tidak menyebut
diri dengan salafy, maka mereka berusaha mengikuti manhaj salaf. Namun
–di sisi lain- mereka juga tak menyalahkan orang-orang yang menyebut dirinya salafy,
dalam rangka mengenalkan dan membedakan jati dirinya dari ahli bid’ah. Tak
heran jika ada diantara mereka yang dikenal, bahkan menyebut diri mereka salafy
sebagaimana telah berlalu penukilannya dari kitab-kitab sejarah. Tak ada
yang menyalahkan penggunaan kata salafy secara mutlak, kecuali orang
yang buta mata hatinya.
3. Kalau seseorang mengaku salafy, lalu amalan dan keyakinan
(aqidah)nya tidak sesuai amalan dan keyakinan salaf, maka inilah yang tercela;
inilah salafy imitasi alias palsu. Yang layak menjadi misal dalam
perkara ini adalah Asy’ariyyah dan Maturidiyyah[30] yang menyalahi keyakinan (aqidah) salafush shalih dalam
perkara asma’ was shifat (nama dan sifat-sifat Allah). Mereka adalah
ahli kalam yang suka mentakwil nama dan sifat-sifat Allah -Azza wa Jalla-.
Bahkan mereka me-nafi-kan (meniadakan) sebagian besar nama dan
sifat-sifat Allah -Azza wa Jalla- yang telah tsabit dalam Al-Qur’an dan
Sunnah. Jelas ini menyalahi madzhab dan manhaj salaf dalam beraqidah. Bahkan
menyalahi aqidah para imam empat: Malik, Abu Hanifah, Syafi’iy, dan Ahmad bin
Hambal.[31]
4. Tadi Pengedit QVS, Bang Lubis berkata, “Karena kejahilan
kita hari ini muncul anggapan manhaj salaf suatu aliran, kelompok ,
atau sekte baru. Anggapan lain karena ungkapan, pengakuan, dan penamaan diri
atau kelompok yang rancu dan membingungkan”. [Lihat QVS (hal.
20)]
Memang manhaj salaf bukan kelompok,
tapi ia adalah pemahaman dan keyakinan yang pernah dipijaki para salaf.
Salafiyyun tak pernah menyatakan apa yang dinyatakan oleh Bang Lubis.
Kalau salafiyyun, maka ia adalah
jama’ah, kelompok, dan golongan yang berada di atas manhaj salaf. Mereka bukan
pengikut sekte-sekte sesat, semisal Asy’ariyyah dan Maturidiyyah. Namun jangan
dipahami bahwa kata “kelompok” maknanya adalah organisasi. Salafiyyun tidak
mesti disatukan oleh sebuah organisasi. Bahkan boleh jadi mereka tak
berorganisasi, atau berada dalam organisasi lain.
Jadi, jangan dipahami bahwa salafy
itu adalah kelompok fanatik buta (hizbiyyah) kepada seorang tokoh, tanpa
didasari ilmu.[32]
Karenanya, Syaikh Al-Fauzan -hafizhohullah-
pernah berkata saat ditanya, “Apakah menggunakan nama As-Salafiy
dianggap membuat kelompok (hizbiyyah)?”.
Syaikh Al-Fauzan -hafizhahullah- menjawab, “Menggunakan nama
As-Salafiy –jika sesuai hakekatnya-, tak mengapa. Adapun jika hanya sekedar
pengakuan, maka tidak boleh baginya menggunakan nama As-Salafiy, sedang ia
bukan di atas manhaj Salaf. Maka orang-orang Al-Asy’ariyyah -contohnya-
berkata, “Kami adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah”. Ini tak benar, karena
pemahaman yang mereka pijaki bukanlah manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Demikian
pula orang-orang Mu’tazilah menamai diri mereka dengan Al-Muwahhidin
(orang-orang bertauhid).
كل يدعي وصلا لليلى وليلى
لا تقر لهم بذاكا
Setiap orang mengaku punya hubungan
dengan Laila
Sedang Laila tidak mengakui hal itu
bagi mereka
Jadi, orang yang mengaku bahwa ia
berada di atas madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah akan mengikuti jalan Ahlus
Sunnah wal Jama’ah, dan meninggalkan orang-orang yang menyelisihi (madzhab
Ahlus Sunnah.-pent). Adapun jika ia mau mengumpulkan antara “biawak dan ikan
paus” –menurut istilah orang-, yakni: mau mengumpulkan hewan daratan dengan
hewan laut, maka ini tak mungkin; atau ia mau mengumpulkan antara api dengan
air dalam suatu daun timbangan. Maka tak akan bersatu ahlus Sunnah wal Jama’ah
dengan madzhabnya orang-orang yang menyelisihi mereka, seperti Khawarij,
Mu’tazilah, dan Hizbiyyun[33] yang disebut orang dengan “Muslim Masa Kini”, yaitu
orang yang mau mengumpulkan kesesatan-kesesatan orang-orang di zaman ini
bersama manhaj salaf. Maka “Tak akan baik akhir ummat ini kecuali dengan
sesuatu yang memperbaiki awalnya”. Walhasil, harus ada pembedaan dan
penyaringan”. [Lihat Al-Ajwibah Al-Mufidah
'an As'ilah Al-Manahij Al-Jadidah (hal.36-40) karya Jamal bin Furoihan
Al-Haritsiy -hafizhahullah-, cet. Darul Minhaj, 1426 H]
Jadi, menamakan diri dengan As-Salafiy,
ini tak apa, jika seorang berada di atas manhaj dan aqidah salaf. Karenanya Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahullah- berkata, “Tak ada aibnya
orang yang menampakkan madzhab Salaf dan menisbahkan diri kepadanya, dan
mengasalkan diri kepadanya. Bahkan wajib menerima hal itu darinya menurut
kesepakatan (ulama’), karena madzhab salaf, tidak ada, kecuali benar”. [Lihat
Majmu' Al-Fatawa (4/149)]
Al-Allamah Syaikh Abdul Aziz bin Baz -rahimahullah- pernah ditanya, “Bagaimana
pandangan anda tentang orang yang menamakan diri dengan As-Salafiy atau
Al-Atsariy; apakah itu tazkiyah (penyucian diri)?”
Syaikh bin Baz menjawab dalam sebuah
ceramah[34] beliau “Haqqul Muslim”, “Jika ia benar bahwa
ia adalah atsariy atau ia salafiy, maka tak mengapa,
seperti para salaf dahulu berkata, “fulan salafiy, fulan atsariy”. Ini adalah
tazkiyah yang harus ada, tazkiyah yang wajib”. [Lihat Al-Ajwibah
Al-Mufidah (38-39), karya Jamal bin Furoihan Al-Haritsiy, cet. Darul
Minhaj, 1426 H; Irsyad Al-Bariyyah ilaa Syar'iyyah Al-Intisab li
As-Salafiyyah wa Dahdusy Syubah Al-Bid'iyyah (hal.21), karya Abu Abdis
Salam Hasan bin Qosim Ar-Roimiy As-Salafiy, cet. Darul Atsar, 1421 H; Al-Azhar
Al-Mantsuroh fi Tabyin anna Ahlal Hadits Hum Al-Firqoh An-Najiyah wa Ath-Tho'ifah
Al-Manshuroh (hal. 27), karya Fauzi Ibnu Abdillah Al-Atsariy, cet.
Maktabah Al-Furqon, UEA, 1422]
Fatwa Syaikh bin Baaz -rahimahullah-
di atas merobohkan ucapan Bang Lubis, Editor QVS yang berkata, “Toh mereka
sendiri tahu, sebutan itu tak syar’i dan salah” [Lihat QVS (hal. 42)][35]
Penamaan As-Salafiy, bukan
Cuma Syaikh bin Baz yang membolehkannya, bahkan Syaikh Bakr Ibnu Abdillah Abu
Zaid juga membolehkannya ketika Syaikh Bakr -hafizhahullah- berkata,“Jika
dikatakan, As-Salaf atau As-Salafiyyun atau bagi jalan mereka
(disebut) As-Salafiyyah, maka itu adalah penisbahan diri kepada As-Salaf
Ash-Sholih, yaitu seluruh sahabat -radhiyallahu ‘anhum- lalu orang-orang yang
mengikuti mereka dalam kebaikan, tanpa orang-orang yang diseret oleh al-ahwa’ [36]..Orang-orang yang tegar di atas manhaj kenabian, maka
mereka dinisbahkan kepada salaf mereka yang sholih dalam hal itu. Maka
dikatakan bagi mereka, “As-Salaf”, “As-Salafiyyun”. Sedang nisbah kepada
mereka adalah “salafi”. Berdasarkan hal ini, maka kata “salaf” maksudnya adalah
As-Sala Ash-Sholih. Kata ini secara mutlak maksudnya adalah setiap orang yang
berjalan dalam meneladani para sahabat -radhiyallahu ‘anhum- sehingga walau ia
berada di zaman kita. Demikianlah halnya; berdasarkan inilah komentar para
ulama’. Maka dia (kata As-salaf atau As-Salafiy) merupakan penisbahan diri yang
tak memiliki tanda yang keluar konsekuensi Al-Kitab dan As-Sunnah. Dia adalah
penisbahan diri yang tak pernah lepas dalam sekejap apapun dari generasi
pertama (sahabat), bahkan mereka berasal dari mereka, dan kembali kepada
mereka. Adapun orang yang menyelisihi mereka dengan nama atau simbol, maka ia
bukan termasuk darinya, sekalipun ia hidup diantara mereka, dan sezaman dengan
mereka”.[Lihat Hukm Al-Intima' (hal. 46) karya Syaikh Bakr
Abu Zaid]
Tidak cukup sampai disini, bahkan
Syaikh Bakr Abu Zaid menganjurkan kita agar menjadi salafiy, ketika beliau
berkata dalam Hilyah Tholib Al-’Ilm (hal.8), “Jadilah salafiy
di atas rel”.
Sekali lagi, menamakan diri dengan As-Salafiy
atau Al-Atsariy, ini tak apa, jika seorang berada di atas manhaj dan
aqidah salaf. Karenanya, penggunaan nama Al-Atsariy atau As-Salafiy
di akhir nama, atau dalam menyifati seseorang dengan label salafy sudah
menjadi perkara yang masyhur di kalangan salaf.
- Penggunaan Istilah Salaf
Penggunaan kata salaf (السَّلَفُ)
sering disalahpahami oleh sebagian orang. Lihat saja ucapan Bang Lubis,
Pengedit Quo Vadis Salafy usai membawakan dalil bahwa kata Salaf
bisa mengandung makna bagus dan makna yang jelek. Dengarkan Bang Lubis
berkata,
“Nah, kalau orang Salafy cuma
menggunakan satu kata salaf, berarti sama sekali tak ada kaitannya
dengan salafus shalih. Mungkin itu pula menyebabkan kehadiran salafy di
mana-mana menimbulkan kontroversi dan kekacauan. Dengan menggunakan ya
nisbah, panggilan itu menisbahkan dirinya kepada salaf. Atau
orang-orang salaf. Atau orang-orang yang mempunyai sifat salaf ,
dalam hal ini mereka menyebut ulama-ulama salaf , tanpa menambah kata shalih“.
[Lihat Quo Vadis Salafy (hal. 27)]
Ucapan Bang Lubis ini perlu kita
cermati dan koreksi dalam beberapa sisi agar para pembaca yang setia dapat
mengetahui “kepandaian” Pengedit QVS ini, sebab dalam beberapa ucapannya ia
menggambarkan dirinya sebagai orang pintar. Nah, ucapannya di atas perlu kita
koreksi dalam beberapa segi berikut:
1.
Penggunaan kata salaf jika di-ithlaq-kan
(digunakan secara muthlaq), tanpa digandengkan dengan kata shalih (misalnya,
ulama salaf, manhaj salaf, Aqidah salaf, dan lainnya),
maka yang dimaksud adalah As-Salafush Shalih (Pendahulu yang Shalih/Baik) dari
kalangan para sahabat, tabi’in dan orang-orang yang mengikuti aqidah dan manhaj
mereka dalam beragama.
Penggunaan model kata seperti ini
banyak digunakan oleh para ulama kita, seperti kata Al-Hafizh. Jika para
ulama kita menggunakan kata Al-Hafizh secara muthlaq, tanpa
menggandengkannya dengan kata lainnya, maka yang dimaksudkan adalah Al-Hafizh
Ibnu Hajar Al-Asqolaniy, Penulis kitab Fathul Bari Syarh Shohih
Al-Bukhoriy.
Demikian pula kata “Syaikhul Islam”;
jika digunakan oleh para ulama kita di zaman sekarang, maka yang dimaksud
adalah Ibnu Taimiyyah. Kata “Al-Bukhoriy”; jika digunakan pada hari ini, maka
yang dimaksudkan adalah Al-Imam Muhammad bin Isma’il Al-Ju’fiy Al-Bukhoriy.[37]
2. Kehadiran salafy dimana-mana, bukanlah sebab
terjadinya kontroversi, dan kekacauan. Bahkan mereka adalah kaum yang gigih
dalam mengajak umat ini untuk kembali kepada asal (prinsip) agama Islam, yakni
kembali kepada aqidah dan ibadah murni yang tidak terkotori dengan syirik,
kekafiran, dan bid’ah. Mereka mengajak umat untuk kembali kepada akhlaq karimah
agar umat menghiasi dirinya dengan adab-adab islamy, bukan dengan
kekasaran dan kesombongan karena banyaknya pengikut dan harta benda.
Sebenarnya yang mengadakan
kontroversi dan kekacauan dalam beragama adalah para ahli bid’ah –diantaranya
Jama’ah Tabligh-, sebab mereka telah menjauhkan umat dari aqidah salaf, dan
merusak ibadah umat, bahkan merusak akhlaq mereka.[38]
Para Pembaca yang arif, jika JT
(Jama’ah Tabligh) bersikukuh menuduh kita dari kalangan Ahlis Sunnah alias
Salafy sebagai pengacau atau penyebab terjadinya kontroversi, maka kita katakan
bahwa memang Salafy telah mengacaukan dakwah para ahli bid’ah dan pelaku
kebatilan (diantaranya adalah JT) serta menyebabkan terjadinya kontroversi
diantara mereka dan kebingungan agar mereka nantinya sadar dan kembali ke jalan
Salafush Shalih. Karena mereka juga adalah saudara kita yang muslim.
Bagaimanapun juga, mereka adalah bagian dari saudara kita yang harus dituntun
kembali ke jalan semula.
Kita tak perlu under estimate atau
sinis kepada Jama’ah Tabligh yang gigih sekali dalam berdakwah, yakni berdakwah
kepada bid’ah dan tarekat para guru mereka dari Nizhamuddin, New Delhi, India.
Namun kegigihan mereka baru tingkat “membicarakan”, belum sampai hakikat yang
dibicarakan dan didakwahkan oleh mereka. Makanya mereka (JT), verbalitas ilmu
saja mereka tak punya. Tapi anehnya mereka lancang berdakwah di jalan Allah.
Sampai preman-preman yang baru sehari tobat, eh malah ikut khuruj
(berdakwah di jalan Allah). Verbalitas ilmu saja mereka tak miliki, apalagi
hakikatnya. Seorang tak mungkin akan memahami hakikat ilmu dalam hati, jika ia
tak memahami verbalitas ilmu dengan akalnya yang bersih[39] .
Jadi, Jama’ah tabligh yang berdakwah
tanpa ilmu ibaratnya orang yang berusaha berenang demi menyelamatkan orang yang
hampir tenggelam, sementara ia sendiri tak bisa renang. Hasilnya, ia dan
orang yang ingin diselamatkan, semuanya tenggelam.
Oleh karena itu para ulama kita
telah membuat kaedah al-ilm qobla al-qoul wal amal (berilmu dan belajar
dulu sebelum mengucapkan dan mengerjakan sesuatu). Nah, dakwah yang kita
lakukan juga harus dipelajari sebelum dipraktekkan di lapangan. Belajar dulu
renang sebelum terjun ke laut!! Semoga dipahami!!!
Contoh lain, seorang supir mobil tak mungkin akan tahu jalan dan rute
perjalanan Surabaya-Jakarta, kalau sebelumnya ia tak pernah belajar dan
bertanya tentang peta dan rute perjalanan itu kepada supir lain yang sudah tahu
dan punya ilmu tentang hal itu. Maka Jama’ah Tabligh yang berusaha menuntun
manusia menuju surga, harus belajar dan mengilmui mana jalan-jalan yang
mengantarkan ke surga dan mana yang bukan. Kalau tak belajar, tapi sibuk
khuruj, maka saat itulah JT akan menggelincirkan manusia ke jalan kebinasaan!![40]
3. Banyak kalangan yang amat benci dan hasad karena tersebarnya
dakwah salafiyyah. Oleh karena itu, tak heran jika para pembenci dakwah
salafiyyah (seperti JT dan lainnya) berusaha keras dengan segala macam sepak
terjangnya untuk mencoreng nama baik dan citra dakwah salafiyyah. Lantaran itu,
mereka menggelarinya dengan gelar yang membuat orang lari dan berburuk sangka
terhadap dakwah salafiyyah, seperti digelari dengan “Wahhabiyyah“, “Murji’ah“,
“Keras dan kaku“, “Musyabbihah“, “Mujassimah“, “Antek-antek
Yahudi“, “Kaki Tangan Zionis“, dan lainnya.
“Mereka sekali-kali tidak mempunyai
pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah buruknya
kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu)
kecuali dusta”. (QS. Al-Kahfi : 5)
[1] Selanjutnya kami sebut dengan Quo Vadis Salafy,
dan kami ringkas dengan QVS.
[2] Lihat Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlih
(2/91)oleh Ibnu Abdil Barr
[3] HR. Al-Harowi dalam Dzammul Kalam (3/47/1)
[4] Maksudnya seorang awam boleh mengikuti ulama siapa saja yang
dia pandang mendekati kebenaran dan orangnya terpercaya. Ia boleh mengikuti
ulama yang bermadzhab Malikiyyah, atau Hanafiyyah, atau Syafi’iyyah, atau
Hanabilah, tanpa terpaku pada salah satunya. Namun jika kebenaran tampak
baginya, maka ia bersedia meninggalkan ulama yang diikutinya, lalu mengikuti
kebenaran yang ada pada ulama lainnya. Tidak terpaku pada salah satunya. Tapi
itupun dalam sebagian kecil perkara yang susah ia pahami, tanpa mengikuti
seorang ulama terpercaya, Wallahu A’lam.
[5] QS. An-Nisaa’: 65
[6] Lihat Mukhtashor Al-Fatawa Al-Mishriyyah, hal.
46-47 via Al-Iqna’ bimaa Ja’a an A’immah Ad-Da’wah min Al-Aqwaal fi
Al-Ittiba’, hal.41-42 karya Syaikh Muhammad bin Hadi Al-Madkholy –hafizhohullah-
, cet. Majalis Al-Huda, Al-Jaza’ir, 1425 H.
[7] Lihat Al-Majmu’ (20/208-209)
[8] Quo Vadis dinukil oleh Penulis dari Injil yang berbahasa
latin. Saking bingungnya cari judul sampai harus menukil dan membuka injil.
[9] Selanjutnya kami sebut dengan Bang Lubis.
[10] Sengaja kami nukilkan dari Al-Baijuriy, karena ia merupakan
orang Asy’ariyyah yang semadzhab dengan Penulis Quo Vadis, dan Pengeditnya
(Abdurrahman Lubis). Ucapan ini menegaskan makna salaf yang diingkari oleh Penulis
QVS.
[11] Kami khawatirkan jika pengingkaran ini dicontek dari orang
lain, tanpa direnungi, sebab pengingkaran seperti ini telah dilakoni oleh
Penulis buku Beda Beda Salaf dengan “Salafi” yang bernama Mut’ab
bin Suryan Al-’Ashimiy.
[12] Asy’ariyyah dan Maturidiyyah
adalah dua kelompok ahli kalam yang telah dicela oleh para ulama salaf
sebagaimana nanti –Insya Allah- akan datang pemaparan dan bantahannya.
[13] Lihat Fathul Mughits (1/6)
[14] Di dalam kitab beliau ini terdapat banyak atsar yang mencela
ilmu kalam dan ahli kalam. Kami khawatir Penulis QVS akan
menggelari Al-Harowi dengan “Wahhabiyyah”, karena beliau mencela
ilmu kalam dan pelakunya, semisalAsy’ariyyah dan Maturidiyyah. Sementara
Al-Harowi -rahimahullah- hidup sebelum lahirnya Syaikhul Islam Muhammad bin
Abdil Wahhab -rahimahullah-.
[15] Mudah-mudahan nukilan dari Al-Imam Adz-Dzahabiy diterima oleh
Penulis QVS, sebab mereka mengklaim bahwa Adz-Dzahabiy adalah tokoh salafy!!!
Perlu diketahui bahwa Adz-Dzahabiy bermadzhab Syafi’iyyah dalam perkara fikih,
dan salafiy dalam aqidah, alhamdulillah.
[16] Saking jahilnya si Penulis QVS, keduanya
menyangka bahwa Ahlus Sunnah adalah Asy’ariyyah dan Maturidiyyah. Padahal kedua
madzhab dan kelompok ini adalah ahli kalam yang dicela para salaf. Bagaimana ia
dikatakan Ahlus Sunnah alias pengikut salaf. Pernyataan Penulis yang salah ini,
lihat dalam QVS (hal. 81).
[17] Insya Allah, akan datang penjelasan tentang hukum ilmu kalam
dan pelakunya.
[18] Padahal Penulis QVS sendiri menyatakan bahwa Salaf itu adalah
Ahlus Sunnah. Lalu orang yang mengikuti salaf (baca: salafy) disebut apa? Ini
adalah permainan kata yang biasa digunakan anak kecil, dan orang pandir.
[19] Mereka ditolong dan selamat karena mengikuti sunnah Nabi
-Shallallahu alaihi wa sallam- dalam semua perkara, baik aqidah, ibadah, maupun
akhlaq.
[20] Lihat Syarh As-Sunnah (hal. 59), karya Abu
Muhammad Al-Hasan bin Ali Al-Barbahariy, tahqiq Kholid bin Qosim
Ar-Roddadiy, cet. Darus Salaf & Dar Ash-Shumai’iy, 1421 H.
[21] Lihat Mauqif Ahlis Sunnah wal Jama’ah (1/39),
cet. Maktabah Al-Ghuroba’ Al-Atsariyyah !
[22] Sebagai contoh, lihat dan baca saja buku beliau semisal Kitab
At-Tauhid, Al-Qowa’id Al-Arba’, Adab Al-Masyyi ilaa
Ash-Sholah, Al-Ushul Ats-Tsalatsah, dan lainnya.
[23] Lihat Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlih (2/91)oleh
Ibnu Abdil Barr
[24] Tampak bahwa Penulis QVS kurang membaca.
Kerjanya suka menukil saja, tanpa merujuk dan membaca kitab-kitab lain. Wallahu
a’lam, mungkin tak sempat karena sibuk khuruj!!!
[25] Kami tak mau katakan kedustaan dan kelicikan Penulis, karena
ucapan seperti ini terkadang membuat orang tersingung.
[26] Tapi hal ini dibantah sendiri oleh Penulis QVS di
halaman-halaman berikutnya, saat ia menjelaskan biografi para ulama salafy.
[Lihat QVS (hal. 128-161]
[27] HR. Al-Bukhoriy (5928), Muslim (2450), Ibnu Majah (1621),
An-Nasa’iy dalam Al-Kubro (8516), Abu Ya’laa dalam Al-Musnad
(6745), Ath-Thobroniy dalam Al-Kabir (1032), Ahmad dalam Fadho’il
Ash-Shohabah (1342), dan lainnya. (Takhrij ini khusus bagi
kalimat bergaris)
[28] Kalau telah lama dikenal, kenapa diingkari orang yang
menisbahkan diri kepada salaf dengan label salafy??! Demikianlah orang
bingung membuat orang bingung.
[29] Alhamdulillah. Pengedit mengakui kejahilannya. Tapi mengapa
ia berani mengedit?! Yah, jawabannya terserah pembaca.
[30] Perlu diketahui bahwa Jama’ah Tabligh termasuk penganut sekte
Asy’ariyyah, dan Maturidiyyah. Mereka menganut dan mendukung kedua sekte ini,
karena kesalahpahaman mereka tentang Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Ini disebabkan
karena tertipu dengan ucapan Az-Zubaidiy, Pen-Syarah Ihya’ Ulumuddin. Padahal
kedua sekte ini yang diklaim oleh Az-Zubaidiy sebagai AHLUS SUNNAH adalah dua
sekte ahli kalam yang telah di-tahdzir (diingatkan bahayanya) oleh para ulama
Ahlus Sunnah sebagaimana akan datang penukilan tentang hal itu dari mereka.
[31] Jika anda mau melihat kebatilan aqidah Asy’ariyyah dan
Maturidiyyah, maka silakan baca Syarh Al-Aqidah Ath-Thohawiyyah, Majmu’
Al-Fatawa (karya Syaikhul Islam), Ijtima’ Al-Juyusy Al-Islamiyyah
(karya Ibnul Qoyyim), I’tiqod Ahlis Sunnah Syarh Ashhabil Hadits
(karya Syaikh Muhammad bin Abdir Rahman Al-Khumayyis), dan lainnya masih
banyak.
[32] Sebenarnya Jama’ah Tabligh itu lebih layak disebut hizbiyyah
(kelompok yang fanatic buta) kepada jama’ahnya, sebab mereka menganggap orang
lain di luar jama’ahnya adalah orang yang sesat. Semua orang yang ada di dalam
jama’ah mereka, maka mereka ber-wala’ (cinta) kepadanya. Sebaliknya, semua
orang yang tidak khuruj alias bukan jama’ah Tabligh, maka mereka bukan saudara
kita. Oleh karena itu, istilah “ikromul muslimin” (memuliakan kaum muslimin),
maksudnya adalah memuliakan orang-orang yang mau mendukung mereka, atau minimal
mendiamkan kebatilan mereka. Kalau anda tak mendukung mereka, apalagi
menjelaskan kebatilan mereka, dan memberikan nasihat kepada mereka, maka
tunggulah balasannya berupa pukulan dan tinju dari tangan-tangan kasar mereka.
Fakta dan buktinya terlalu banyak bagaimana mereka menyakiti kaum muslimin di
luar jama’ah mereka. Kami mengenal orang-orang pernah dipukul oleh Jama’ah
Tabligh. Sebagian dari kisah pemukulan itu, anda bisa lihat kisahnya dalam Al-Qoul
Al-Baligh fi At-Tahdzir min Jama’ah At-Tabligh, karya Syaikh Hamud bin
Abdillah At-Tuwaijiriy -rahimahullah-. Sebuah buku dan karya besar
beliau dalam menelanjangi kebatilan dan penyimpangan Jama’ah Tabligh. Buku itu
merupakan nasihat mulia yang membuat para Jama’ah Tabligh (JT) berang. Padahal
sebenarnya itu merupakan obat (nasihat). Tapi dasar seorang yang tidak paham,
obat dianggap racun. Akibatnya, mereka terus berada dalam kebinasaan,
kebingungan dan kesesatan. Nas’alullahal afiyah was salamah.
[33] Benar sekali apa yang dinyatakan oleh beliau !! Tak mungkin
Ahlus Sunnah (baca: Salafiyyun) akan bergabung dengan Khawarij, yaitu
orang-orang senang memberontak kepada pemerintahnya, baik berupa demo, celaan
terhadap pemerintah, perlawanan bersenjata di hadapan penguasa. Tak mungkin
Salafiyyun akan bersatu dengan Tabligh yang gandrung sufiyyah, atau HTI, YWI,
At-Turots dan IM yang senang mencela pemerintah, dan mendemo mereka.
[34] Direkam dalam sebuah kaset ketika beliau menyampaikan ceramah
di Tho’if, tertanggal 16/1/1413 H.
[35] Alhamdulillah, Salafiyyun telah mengamalkan dan meyakini
semua yang diajarkan oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- sesuai
dengan kemampuan mereka. Salafiyyun tak perlu diajari bahwa jika mengaku salafy,
yah harus beramal dan berakidah. Memang harus beramal dan berakidah sesuai
tuntutan manhaj dan aqidah salaf. Siapa yang tak beramal, dan berkeyakinan
sesuai salaf? Jama’ah Tabligh, atau kah salafiyyun yang difitnah?? Tampaknya
Penulis QVS buta karena sikap salafiyyun yang selalu mengingkari dan
menasihati ummat dari bahaya penyimpangan para ahli bid’ah, khususnya Muhammad
Ilyas Al-Kandahlawiy, Muhammad Zakaria Al-Kandahlawiy, Cs. Apakah mengingkari
kemungkaran JT dianggap dosa, dan kejahatan salafy ??! Sebagaimana yang
dikatakan oleh Penulis dalam QVS (hal. 216-217). Nanti kita akan
lihat siapa sebenarnya yang berbuat jahat dan dosa pada pembahasan-pembahasan
berikut, insya Allah.
[36] Faedah: Jika dikatakan al-ahwa’, maka yang
dimaksud adalah bid’ah. Karenanya, ahli bid’ah biasa disebut ahlul ahwa’.
[37] Lihat Tamamul Minnah (hal. 260), karya Syaikh
Al-Albaniy, Dar Ar-Royah, 1422 H.
[38] Bukti kerusakan aqidah mereka –Insya Allah- akan
datang penjelasannya. Adapun kerusakan akhlaq Jama’ah Tabligh, maka semua orang
dapat mengetahui dan menyaksikannya. Lihat saja akhlaq mereka yang buruk,
seperti suka memukul orang, suka meninggalkan istri dan anak-anak, suka menuduh
orang tanpa hujjah sebagaimana akan datang bukti-buktinya, suka berdusta, dan
masih banyak lagi kerusakan akhlaq mereka.
[39] Ini sebenarnya makna ucapan Pengedit QVS, Bang
Lubis di (hal. 28) yang kami kembalikan kepadanya agar menjadi boomerang
bagi dirinya.
[40] Sengaja kami bawakan contoh seperti ini, karena di dalam QVS
juga banyak contoh dan perandaian seperti itu. Perlu kami berikan agar mereka
memahaminya dengan baik mana yang benar dengan permisalan.
Sumber : almakassari. com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar