Bila
pikiran anda melancong, dan menerawang ke dunia penyembahan dan
peribadatan umat manusia, maka anda akan menemukan banyak keanehan.
Disana anda melihat semua agama selain Islam; tak ada diantara mereka,
kecuali memperhambakan diri dan menyembah makhluk. Pemeluk Buddha
menyembah Sidarta Gautama. Penganut Hindu menyembah Brahma, Siwa, Krisna,
dan lainnya. Konghuchu menyembah pendirinya. Yahudi Menyembah Uzair,
manusia yang disangka oleh mereka sebagai anak Allah. Nasrani menyembah
Nabi Isa –shallallahu alaihi wa sallam-, dan pendeta atau
orang-orang sholih diantara mereka. Pemeluk agama Shinto menyembah
matahari.
Kaum paganisme lainnya (seperti kafir Quraisy dan lainnya) menyembah arca, rumah, pepohonan, bebatuan, dan orang sholih. Masih banyak lagi agama-agama lain yang menyembah makhluk, seperti ada yang menyembah keris, malaikat, jin, setan, Nyi Roro Kidul, Wali Songo, Syaikh Yusuf, dan lainnya diantara manusia yang dikultuskan oleh orang-orang jahil.
Kaum paganisme lainnya (seperti kafir Quraisy dan lainnya) menyembah arca, rumah, pepohonan, bebatuan, dan orang sholih. Masih banyak lagi agama-agama lain yang menyembah makhluk, seperti ada yang menyembah keris, malaikat, jin, setan, Nyi Roro Kidul, Wali Songo, Syaikh Yusuf, dan lainnya diantara manusia yang dikultuskan oleh orang-orang jahil.
Pendek kata, tak ada agama di dunia ini, kecuali ia menyembah makhluk. Adapun Islam yang dahulu dibawa oleh Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam- dan terwariskan sampai hari ini, maka Islam mengajarkan umatnya agar mereka hanya menyembah Allah -Ta’ala-, Penguasa langit dan bumi.
Allah -Tabaroka wa Ta’ala- berfirman,
“Apakah mereka mempersekutukan (Allah) dengan sesuatu (sembahan)
yang tak dapat menciptakan sesuatupun? Sedangkan sembahan-sembahan itu
sendiri diciptakan (oleh Allah). Dan berhala-berhala itu tidak mampu
memberi pertolongan kepada penyembah-penyembahnya dan kepada dirinya
sendiripun berhala-berhala itu tidak dapat memberi pertolongan”. (QS. Al-A’raaf : 191-192)
Al-Hafizh Ibnu Katsir -rahimahullah- berkata, “Ini
merupakan pengingkaran dari Allah kepada kaum musyrikin yang menyembah
selain Allah bersama-Nya berupa tandingan-tandingan, arca-arca, dan
berhala-berhala.Padahal semua itu adalah makhluk ciptaan Allah, yang
dikuasai dan diciptakan (oleh Allah). Sesembahan itu tidak memiliki
kekuasaan untuk (menentukan) suatu urusan, tak mampu memberi bahaya, dan
manfaat. Sesembahan itu tak akan tertolong, dan tak akan menolong para
penyembahnya. Bahkan sesembahan itu merupakan benda mati yang tak dapat
bergerak; tak dapat mendengar dan melihat. Padahal para penyembahnya
lebih sempurna dibandingkan sesembahan itu sendiri dengan adanya
pendengaran, penglihatan, dan hukuman mereka”. [Lihat Tafsir Ibn Katsir (3/529)]
Penyembahan kepada makhluk merupakan kebatilan terbesar dan pelanggaran terhebat terhadap hak Allah -Azza wa Jalla-.
Mestinya seluruh makhluk menyembah Allah -Tabaroka wa Ta’ala-. Tapi
malah ada sebagian besar umat manusia yang memperhambakan dan
menghinakan diri kepada makhluk yang lemah seperti dirinya, bahkan boleh
jadi lebih lemah dibandingkan diri penyembahnya!!
Seseorang jika ingin berpikir dan mempelajari sifat-sifat kekurangan
yang ada pada sesembahan kaum kafir dan musyrikin, maka ia pasti akan
menyatakan kebatilan agama mereka. Bukankah sesembahan mereka,
baik berupa makhluk hidup atau pun benda mati; semuanya tak berdaya
menolong para penyembahnya. Sesembahan itu tak dapat mendengar dan
melihat para penyembahnya. Anggaplah bahwa sesembahan mereka dapat
melihat dan mendengar para penyembahnya saat mengajukan dan memohon
segala hajatnya. Namun sesembahan itu tak dapat mengabulkan doa dan
permohonan mereka.
Allah -Ta’ala- berfirman,
“Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari biji korma.
Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau
mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan
dihari kiamat mereka akan mengingkari kemusyirikanmu dan tidak ada yang
dapat memberi keterangan kepadamu sebagaimana yang diberikan oleh Yang
Maha Mengetahui (Allah)”. (QS. Faathir: 13-14)
Syaikh Sholih bin Abdillah Al-Fauzan -hafizhahullah- berkata dalam Syarh Kitab At-Tauhid, “Dipersyaratkan tiga syarat pada sesuatu yang diseru (disembah). Pertama: Sesembahan itu memiliki sesuatu yang diminta darinya. Kedua: Sesembahan itu mendengarkan si pemohon. Ketiga:
Sesembahan itu mampu mengabulkan permohonan. Semua perkara ini tak ada
yang cocok (pas), kecuali Allah -subhanahu wa ta’ala- . Karena Dia-lah
Pemilik segala sesuatu, Maha Mendengar, dan Maha Kuasa untuk mengabulkan
permohonan. Adapun sembahan-sembahan ini, maka pertama ia faqir, kedua: ia tak mampu mendengarkan orang yang menyerunya. Ketiga: Andaikan ia mampu mendengar, maka sesungguhnya ia tak mampu mengabulkan permohonan”. [Lihat Mujanabah Ahl Ats-Tsubur (hal. 237-238), karya Syaikh Abdul Aziz bin Faishol Ar-Rojihiy]
Kesempurnaan sifat, kekuasaan serta keagungan Allah, dan lemahnya
kondisi para makhluk merupakan argumen dan hujjah yang terkuat bahwa tak
ada diantara makhluk yang berhak dan layak diibadahi dan diseru. Hanya
Allah saja yang berhak disembah oleh jin, manusia, dan semua makhluk.
Syaikh Abdur Rahman bin Nashir As-Sa’diy -rahimahullah- berkata, “Sifat-sifat
Allah Sang Maha Pencipta -Ta’ala-, sifat-sifat keagungan-Nya, dan
tunggalnya Allah dalam kesempurnaan muthlaq merupakan bukti terbesar
bahwa tak ada yang berhak diibadahi, selain Dia (Allah). Demikian pula
sifat-sifat makhluk seluruhnya, dan sesuatu yang ada padanya berupa
kekurangan, hajat, dan kebutuhan mereka kepada Penciptanya dalam seluruh
urusannya, dan bahwa makhluk-makhluk itu tak memiliki kesempurnaan,
kecuali sesuatu yang Penciptanya (Allah) berikan kepadanya. Semua ini
merupakan bukti terbesar tentang kebatilan penyembahan sesuatu diantara
makhluk-makhluk itu. Barangsiapa yang mengenal Allah, dan menggenal
makhluk-Nya, maka pengenalan ini akan mendorong dirinya untuk menyembah
Allah saja, memurnikan ketaatan kepada-Nya, memuji dan bersyukur
kepada-Nya dengan lisan, hati, dan anggota badannya, serta akan sirna
ketergantungannya kepada makhluk, karena takut, mengharap, dan
menginginkan (sesuatu pada Allah), Wallahu A’lam”. [Lihat Al-Qoul As-Sadid (hal. 70), karya As-Sa'diy]
Di Tangan Allah-lah segala urusan makhluk. Dia yang mengatur rejeki,
ajal, jodoh, kehidupan para hambanya. Oleh karenanya, minta dan mohonlah
hajat dan segala keperluanmu kepada Allah -Azza wa Jalla-. Apa
saja yang dibutuhkan oleh makhluk, berupa hidayah, keselamatan,
perlindungan dan kebaikan di dunia atau di akhirat, maka janganlah
meminta semua itu kepada makhluk, walaupun makhluk itu adalah makhluk
yang paling mulia di sisi Allah -Ta’ala-. Mintalah kepada Allah yang
Maha Kaya lagi Maha Terpuji.
Yang menentukan bahagia tidaknya seorang hamba, atau ia dapat hidayah
atau tidak, maka urusannya kembali kepada Allah, bukan kepada makhluk.
“Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu.
(Bersabarlah) sampai Allah menerima taubat mereka, atau menyiksa mereka,
karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim”. (QS. Ali Imraan : 128)
Disebutkan dalam hadits-hadits tentang sebab turunnya ayat ini bahwa Nabi Muhammad -shallallahu alaihi wa sallam-
berdoa kepada Allah agar membinasakan sebagian pemuka-pemuka musyrikin,
serta beberapa kabilah setelah perang Uhud dan peristiwa Sumur Ma’unah.
[Lihat Al-Istii'aab fi Bayan Al-Asbaab (1/290-292) karya Syaikh Salim Al-Hilaliy & Syaikh Muhammad bin Musa Alu Nashr, cet. Dar Ibn Al-Jauziy, 1425 H]
Lalu turunlah ayat ini sebagai teguran bagi Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam- sebagaimana dalam sebuah hadits dari Anas -radhiyallahu anhu- berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كُسِرَتْ رَبَاعِيَتُهُ يَوْمَ أُحُدٍ وَشُجَّ فِي رَأْسِهِ
فَجَعَلَ يَسْلُتُ الدَّمَ عَنْهُ وَيَقُولُ كَيْفَ يُفْلِحُ قَوْمٌ
شَجُّوا نَبِيَّهُمْ وَكَسَرُوا رَبَاعِيَتَهُ وَهُوَ يَدْعُوهُمْ إِلَى
اللَّهِ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ :
“Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- gigi serinya patah
pada waktu perang Uhud, dan terluka kepalanya. Kemudian mulailah beliau
mengusap darah dari kepalanya seraya bersabda, “Bagaimana akan beruntung
suatu kaum yang melukai nabinya, dan mereka mematahkan gigi serinya.
Padahal nabi itu mengajak mereka kepada (agama) Allah. Kemudian Allah
-Azza wa Jalla- menurunkan ayat (kemudian beliau menyebutkan ayat di
atas)”.[HR. Muslim dalam Kitab Al-Jihad (no. 4621)]
Dari Abdullah bin Umar -radhiyallahu anhuma-,
“Bahwa ia pernah mendengar Rasulullah -Shollallahu alaihi wa
sallam-; apabila beliau mengangkat kepalanya dari raka’at terakhir pada
sholat Shubuh, maka beliau berdoa, “Ya Allah, Laknatlah fulan, fulan,
dan fulan”, setelah beliau mengucapkan, “Sami’allahu liman hamidah,
rabbana wa lakal hamdu”. Lalu Allah menurunkan ayat, (lalu Anas
menyebutkan ayat di atas)”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Al-Maghozi (no. 4069)]
Urusan makhluk, seperti memberikan hidayah kepada makhluk; semuanya kembali kepada Allah, sampai Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam- saja tak mampu memberikan hidayah (taufiq) kepada mereka. Syaikh Al-Utsaimin -rahimahullah- berkata usai menjelaskan hal ini, “Jika
permasalahannya demikian, maka bagaimanakah pandangan kalian tentang
selain beliau (Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam-)? Maka tak ada campur
tangan dalam urusan makhluk bagi siapa saja, seperti arca-arca,
berhala-berhala, para wali, dan para nabi. Urusan makhluk semuanya
kembali kepada Allah”. [Lihat Al-Qoul Al-Mufid (1/290) karya Al-Utsaimin]
Jadi, Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam- tak punya campur
tangan dalam urusan makhluk, seperti memberi hidayah, menyelamatkan
manusia dari siksa neraka, atau memasukkan mereka ke dalam surga. Semua
ini adalah urusan Allah.
Olehnya, Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam- pernah
mendakwahi kerabatnya dan mengabarkan kepada mereka bahwa beliau tak
mampu menolong dan menyelamatkan mereka di hari kiamat, jika mereka
berbuat syirik.
Dari Abu Hurairah -radhiyallahu anhu- berkata,
“Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- bangkit ketika Allah
-Azza wa Jalla- menurunkan ayat (yang artinya), “Dan berilah peringatan
kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat”. (QS. Asy-Syu’araa : 214),
seraya bersabda, “Wahai orang-orang Quraisy –atau kalimat semisal itu-,
belilah (bebaskanlah) diri kalian dari (siksa) Allah. Aku tak mampu
memberikan manfaat (pertolongan) bagi kalian dari (siksa) Allah
sedikitpun. Wahai Bani Abdi Manaf, aku tak mampu memberikan manfaat
(pertolongan) bagi kalian dari (siksa) Allah sedikitpun. Wahai Abbas bin
Abdil Muththolib, aku tak mampu memberikan manfaat (pertolongan) bagimu
dari (siksa) Allah sedikitpun. Wahai Shofiyyah, Bibi Rasulullah, aku
tak mampu memberikan manfaat (pertolongan) bagi kalian dari (siksa)
Allah sedikitpun. Wahai Fathimah Puteri Muhammad, mintalah kepadaku
sesuatu berupa hartaku, aku tak mampu memberikan manfaat (pertolongan)
bagi kalian dari (siksa) Allah sedikitpun”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Al-Washoyaa (no. 2753), dan Muslim dalam Al-Iman (no. 503)]
Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam- menjelaskan kepada
umatnya bahwa tak ada yang menyelamatkan mereka dari siksa neraka, dan
tak ada yang memasukkan mereka ke dalam surga, kecuali Allah, sebagai
rahmat dari-Nya. [Lihat Taisir Al-Aziz Al-Hamid (hal. 207)]
Dari sini tampaklah kebatilan para penipu yang menjanjikan kepada
manusia keselamatan dari siksa neraka dan kesempatan masuk surga. Hadits
ini juga membantah Ja’far Al-Barzanji saat ia berkata dalam Qoshidah-nya (pada Du’a Al-Qiyam),
يَا بَشِيْرُ يَا نَذِيْرُ *** أَغِثْنِيْ وَأَجِرْنِيْ
“Wahai Pemberi kabar gembira dan ancaman (yakni, Nabi
-Shollallahu alaihi wa sallam-), tolonglah aku di kala susah, dan
lindungilah aku”
Sumber : Buletin Jum’at At-Tauhid. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar