Hari itu istri-istri Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
kedatangan tiga shahabat menanyakan perihal ibadah Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam. Sesampainya mereka disana diceritakanlah kepada mereka
seperti apa ibadah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, selesai mereka
menyimak keterangan para pendamping Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
seolah-olah mereka masih menganggapnya belum seberapa. Maka berkatalah salah
seorang dari mereka; “Saya akan shalat malam selama-lamanya”. Kata yang kedua;
“Kalau saya, saya akan berpuasa dan tidak berbuka”. Yang terakhir menyela; “Dan
saya, saya akan menjauhi wanita-wanita dan tidak akan menikah”.
Tidak lama, sampailah kepada beliau laporan ucapan-ucapan
ketiga shahabatnya tadi. Maka beliau pun berkata lantang dihadapan mereka;
“Kenapa masih ada orang-orang yang mengatakan ini dan itu, sungguh demi Allah,
ketahuilah; saya adalah orang yang paling bertakwa dan paling takut kepada
Allah dari pada kalian, tapi saya shalat malam dan saya juga tidur, saya puasa
dan saya juga berbuka dan saya menikahi wanita-wanita…barangsiapa yang tidak
suka dengan ajaranku maka dia bukan dari golonganku”.
Demikianlah makna hadist Anas Radiyallahu Anhu yang
diriwayatkan oleh Al Imam Muslim dalam Shahihnya. Hadits ini seolah-olah terus
menegur dan mengingatkan kita, bahwa ada satu hal dari sunnah nabi Shallallahu
‘Alaihi Wasallam yang sering kali luput dari pengamatan yaitu yang dinamakan
para ulama dengan sunnah tarkiyyah. Sunnah Tarkiyyah adalah semua yang tidak
pernah dikerjakan oleh Rasulllah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam semasa hidupnya
maka sunnah bagi kita untuk meninggalkannya.
Karena sunnah ada dua; sunnah fi’liyyah dan sunnah tarkiyyah.
Yang pertama; setiap yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
dimasa hidupnya adalah sunnah bagi kita untuk melakukannya. Dan yang kedua;
setiap yang tidak dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dimasa
hidupnya adalah sunnah bagi kita untuk tidak melakukannya.
Diantara contoh sunnah tarkiyah adalah hadist Anas Ra diatas.
Karena itu Al Hafidz Ibnu Rajab berkata; “…adapun hal-hal yang telah
disepakati oleh salaf untuk ditinggalkan, maka tidak boleh mengamalkannya,
karena mereka meninggalkannya atas dasar ilmu bahwa hal tersebut tidak
disyariatkan”.
Dihari-hari ini, dibulan Rabi’ul Awal, umumnya kaum muslimin
merayakan perayaan ritual tahunan yang biasa dikenal dengan Maulid Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam atau Mauludan. Tidak sedikit harta yang
dinafkahkan pada perayaan ini, sampai-sampai dibeberapa tempat dana yang
dihabiskan untuk mensukseskannya terkadang mencapai puluhan juta. Tapi harus
kita akui bersama, hanya sedikit –dari sekian besar dana yang dibelanjakan
untuk acara ini- yang manfaatnya kembali kepada kaum muslimin apabila ditinjau
dari perbaikan akhlak dan sikap beragama mereka, kalau tidak boleh mengatakan;
“Tidak ada manfaatnya”. Bukti akan hal ini terlalu banyak untuk disebutkan. Dan
setiap kita cukup sebagai saksi dari gagalnya seremonial tahunan ini dalam
mengangkat moral ummat dan mengembalikan kesadaran beragama mereka.
Apa yang salah dari perayaan maulid Nabi, bukankah acara
tersebut merupakan ungkapan kegembiraan kita dengan Nabi kita sendiri?!
Dengannya kita bisa melakukan napak tilas sejarah kehidupan beliau Shallallahu
‘Alaihi Wasallam?! Mempelajari sunnah-sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam?! Semua ini adalah niatan baik yang melatar belakangi perayaan
tersebut, tapi seperti yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud kepada orang-orang yang
didapatinya di masjid Kufah, ketika itu mereka terbagi-bagi dalam
kelompok-kelompok majlis dzikir, majlis memuji dan mengingat Allah Ta’ala, kata
Ibnu Mas’ud, “Berapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tapi tidak
mendapatkannya”. Hal ini karena mereka melakukan suatu yang tidak pernah dikerjakan
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam semasa hidupnya, ini juga yang hampir
dilakukan oleh tiga orang shahabat nabi dalam kisah diatas.
Ungkapan kegembiraan, napak tilas kehidupan Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan mempelajari sunnah-sunnah beliau caranya
dengan menerapkan ajarannya dalam kehidupan kita, dengan belajar ilmu agama
diantaranya sirah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, bukan dengan
cara-cara yang baru yang hanya dikenal setelah berlalunya tiga generasi yang
mulia, shahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in.
Perayaan ini tidak dikenal di masa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam, generasi pertama ummat ini dan tidak dikenal dalam mazhab
yang empat, Hanafiah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambaliyah. Lantas siapa orang
yang menanggung dosa pertama dari bid’ah maulid ini? Orang yang pertama kali
mengadakan perayaan ini adalah kelompok Fatimiyyun disebut juga Ubaidiyyun
ajaran mereka adalah kebatinan. Adapun perkataan bahwa yang pertama kali
mengadakan perayaan tersebut adalah seorang raja yang adil yang alim yaitu Raja
Mudhofir, penguasa Ibril adalah pernyataan yang salah. Abu Syamah menjelaskan
bahwa Raja Al Mudhofir (hanya) mengikuti jejak Asy-Syaikh Umar bin Muhammad Al
Mulaa tokoh kebatinan dan dialah orang yang pertama kali mengadakan perayaan
tersebut.
Kelompok yang membolehkan maulid beralasan;
1- Perayaan Maulid merupakan ekspresi kebahagiaan dan
kegembiraan dengan diutusnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan hal ini
termasuk perkara yang diharuskan karena Al-Qur’an memerintahkannya sebagaimana yang terdapat di dalam firman Allah Ta’ala :
“Katakanlah, dengan
karunia Allah dan rahmat-Nya hendaklah dengan itu mereka bergembira” (Qs.
Yunus; 58).
Ayat ini memerintahkan kita untuk bergembira disebabkan
rahmat-Nya, sedangkan Nabi Muhammad SAW adalah rahmat Allah yang paling agung,
Allah Ta’ala berfirman;
“Dan tidaklah kami utus
kamu melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam” (Qs. Al Anbiya’; 107)
Sanggahannya; Bergembira
dengan beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, kelahirannya, syariat-syariatnya
pada umumnya adalah wajib. Dan penerapannya disetiap situasi, waktu dan tempat,
bukan pada malam-malam tertentu.
Kedua; pengambilan dalil surat Yunus; 58 untuk melegalkan
acara maulid nyata sangat dipaksakan. Karena para ahli tafsir seperti Ibnu
Jarir, Ibnu Katsir, Al Baghawi, Al Qurthubi dan Ibnul Arabi serta yang lainnya
tidak seorangpun dari mereka yang menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan kata
rahmat pada ayat tersebut adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, namun
yang dimaksud dengan rahmat adalah Al Qur’an. Seperti yang diterangkan dalam
ayat sebelumnya;
“Wahai manusia,
sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabb kalian dan penyembuh
bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi
orang-orang yang beriman”. (Qs. Yunus; 57).
Ibnu Katsir menerangkan; “Firman Allah Ta’ala “rahmat dan
petunjuk bagi orang-orang yang beriman” maksudnya dengan Al-Qur’an, petunjuk
dan rahmat bisa didapatkan dari Allah Ta’ala. Ini hanya dapat dicapai oleh
orang-orang yang beriman dengan Al-Qur’an dan membenarkannya serta meyakini
kandungannya. Hal ini senada dengan firman Allah Ta’ala;
“Dan kami turunkan dari
Al-Qur’an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang
beriman” (Qs. Al Israa’; 82).
2- Syubhat kedua; Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam sendiri mengagungkan hari kelahirannya, beliau mengekspresikan hal itu
dengan berpuasa, seperti diriwayatkan dari Abu Qatadah Ra bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ditanya tentang puasa hari senin, beliau menjawab;
“Pada hari itu aku dilahirkan, aku diutus atau diwahyukan kepadaku”.
Sanggahannya; Hadist Abu
Qatadah Ra diatas adalah hadist yang shahih, tapi menjadikannya sebagai dalil
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam merayakan sendiri kelahirannya,
ini yang salah. Kesimpulannya dalilnya shahih, pendalilannya salah. Dikarenakan
beberapa alasan;
1- Diriwayatkan dalam hadist yang lain, bahwa puasa beliau
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dihari senin, karena amalan dihari itu
diperlihatkan kepada Allah Ta’ala.
2- Kalau ucapan mereka benar, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam berpuasa dalam rangka merayakan kelahirannya, kenapa tidak
ada seorang pun dari shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang
memahami sabda diatas dengan pemahaman demikian. Kemudian datang orang-orang
belakangan yang memahami puasa beliau di hari senin sebagai ekspresi
pengagungan terhadap hari kelahirannya, lalu dari situ mereka mengadakan acara
yang dinamakan maulid!! Apakah mereka lebih mengetahui kebenaran dari para
shahabat yang mulia dan hanya diketahui oleh orang yang datang belakangan?!
Sungguh ajaib logika orang-orang pintar akhir zaman hasbunallahu wani’mal
wakiil.
3- Syubhat ketiga; perkataan mereka; “Perayaan Maulid
memang bid’ah, tapi bid’ah hasanah (baik)”
Sanggahannya; cukup
dengan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Setiap bid’ah adalah sesat”.
Dan seperti itu pulalah yang disampaikan Ibnu Umar Ra kepada orang-orang yang
memiliki anggapan salah ini, kata beliau; “Setiap bid’ah adalah sesat walaupun
orang menganggapnya baik”.
Al Imam Malik rahimahullah berkata; “Barangsiapa yang membuat
bid’ah di dalam Islam yang dianggapnya baik, ia telah menuduh Muhammad
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam khianat dalam menyampaikan risalah. Karena Allah
Ta’ala berfirman;
“Pada hari ini telah
Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan
telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimuâ€. (Qs. Al Maidah; 3) maka segala
sesuatu yang bukan agama dihari itu, bukan pula agama dihari ini.
Apabila ajaran maulid adalah petunjuk dan kebenaran, kenapa
Rasululah SAW dan para shahabatnya, tidak pernah menganjurkannya?! Apakah
mereka tidak tahu?! Kemungkinan yang lain, mereka tahu tapi menyembunyikan
kebenaran. Dua kemungkinan ini sama batilnya!! Alangkah dzalim apa yang mereka
perbuat kepada nabinya dengan alasan cinta kepadanya?!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar