Banyak
diantara agama, dan sunnah Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- yang
dilalaikan orang pada hari ini sehingga terkadang menjadi sesuatu yang mahjur
(ditinggalkan) dan ghorib (asing) di mata pemeluknya sendiri.
Inilah
yang pernah diisyaratkan oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- ketika
beliau bersabda dalam sebuah hadits,
بَدَأَ اْلإِسْلاَمُ غَرِيْبًا وَسَيَعُوْدُ كَمَا بَدَأَ
غَرِيْبًا فَطُوْبَى لِلْغُرَبَاءِ
"Islam
muncul dalam keadaan asing, dan akan kembali (asing), sebagaimana ia muncul
dalam keadaan asing. Maka beruntunglah orang-orang asing". [HR. Muslim dalam Kitab Al-Iman (232)]
Islam
asing dan aneh di mata manusia karena menyalahi hawa nafsu dan kejahilan
mereka. Ketika seorang mengamalkan sunnah (ajaran) Nabi -Shallallahu alaihi wa
sallam- di awal Islam, maka semua orang tersentak kaget dan heran sebagaimana
kondisi di akhir zaman sekarang. Jika sekarang ada pengikut sunnah (yakni,
petunjuk) Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- mengamalkan sunnah, seperti
memanjangkan jenggot, dan menggunakan jilbab besar beserta cadar, maka
banyak kaum muslimin yang berteriak kaget, dan menganggapnya asing alias aneh,
menakutkan, ketinggalan zaman, dan lainnya!! Keasingan ini terjadi karena
kebanyakan manusia menjauhi sunnah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Kenapa
mereka jauh? Mereka jauh karena kejahilan dan hawa nafsu menyelimuti mereka.
Tapi keasingan ini sebenarnya adalah sunnatullah (ketentuan dari Allah -Azza wa
Jalla-).
Al-Imam
Abu Ishaq Asy-Syathibiy -rahimahullah-
berkata, “Keterasingan ini adalah sunnatullah pada makhluk-Nya, yakni
pengikut kebenaran dibandingkan pengusung kebatilan adalah jumlahnya sedikit
berdasarkan firman-Nya -Ta’ala-,
"Dan
sebahagian besar manusia tidak akan beriman – walaupun kamu sangat
menginginkannya-. (QS. Yusuf: 103)
“Dan
sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih”. (QS. Saba’ : 13)
(Demikianlah)
agar Allah membenarkan apa yang Dia janjikan kepada Nabi-Nya berupa kembalinya
sifat keterasingan itu kepada Islam. Jadi, keterasingan itu tak akan terjadi,
kecuali karena hilangnya pengikut (kebenaran) atau sedikitnya mereka. Hal itu
terjadi saat perkara yang ma’ruf berubah menjadi kemungkaran; kemungkaran
berubah (dianggap) sebagai sesuatu yang ma’ruf; Sunnah dianggap bid’ah, dan
bid’ah dianggap sunnah. Akhirnya, pengikut Sunnah diperhadapkan dengan cacian
dan sikap keras sebagaimana nasibnya dahulu para pengusung bid’ah, karena
adanya keinginan para pengusung bid’ah itu agar symbol kesesatan bias bersatu
(kuat)”. [Lihat Al-I’tishom
(1/12), tahqiq Masyhur Hasan Salman, cet. Maktabah At-Tauhid, 1421 H]
Jumlah
kaum muslimin pada hari ini amat banyak. Hanya saja yang kita sesalkan,
mayoritas dari mereka tidak mengetahui Islam yang pernah dibawa oleh Nabi
-Shallallahu alaihi wa sallam- dan disebarkan oleh para sahabat.
Lihatlah,
ketika mereka diajak untuk meninggalkan kesyirikan, maka mereka menuduh kita
sebagai “Wahabi”. Perkara ini amat jelas jika ada seorang yang
bertauhid melarang kaum muslimin datang ke kuburan orang-orang “sholeh”, karena
mereka kesana untuk melakukan kesyirikan, seperti bernadzar di kubur, mengharap
pertolongan dan kesembuhan dari penghuni kubur, meminta dan berdoa kepada
mayit. Inilah yang dilarang dalam Islam dalam firman-Nya,
“Dan
sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu
menyeru (berdoa) kepada seseorangpun di dalamnya di samping (menyeru) Allah”. (QS. Al-Jin: 18)
Perhatikan,
saat kita menasihati mereka untuk meninggalkan maulid karena hal itu tak ada
tuntunannya dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, maka manusia akan kiamat.
Bukankah Allah -Ta’ala- berfirman,
“Pada
hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu”. (QS. Al-Maa’idah: 3)
Bila
agama telah sempurna, maka kita tak perlu menambahinya dengan amalan yang tak
ada tuntunannya dalam agama –seperti, maulid-, sebab amalan yang tak ada
tuntunannya dalam agama akan tertolak, tak mendapatkan pahala, bahkan akan
dimintai pertanggungjawaban!!
Nabi
-Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ
رَدٌ
“Barang
siapa yang mengadakan suatu perkara (baru) dalam urusan (agama) kami ini yang
bukan termasuk darinya,maka perkara itu tertolak”. [HR.Al-Bukhory (2697)]
Ibnu
Daqiq Al-Ied -rahimahullah- berkata, “Hadits
ini merupakan kaidah yang sangat agung diantara kaidah-kaidah agama.Dia
termasuk "Jawami’ Al-Kalim" (ucapan ringkas, padat maknanya),
yang diberikan kepada Al-Mushthofa -Shallallahu alaihi wa sallam- , karena
hadits ini jelas sekali dalam menolak segala bentuk bid`ah dan perkara-perkara
baru”. [Lihat Syarh Al-Arba`in (hal.43)]
Renungilah,
para wanita ketika diajak mengenakan pakaian wanita muslimah yang syar’iy,
maka mereka menolaknya dengan seribu alasan. Sehingga kita tidak bisa lagi
membedakan antara wanita muslimah dan wanita kafir. Jika kalian berbelanja di
mall-mall dan pusat perbelanjaan lainnya, maka kalian akan menyaksikan
wanita-wanita kita berseliweran dan bekerja disana. Awal kita melihat mereka,
kita menyangkanya wanita kafir, karena ia tidak berjilbab, dan ia bersolek ala
wanita kafir. Tapi kita akan terperanjat ketika mengetahui bahwa ia adalah
muslimah. Bukankah seorang wanita diperintahkan mengenakan jilbab yang tebal
dan lebar sebagaimana dalam firman Allah -Ta’ala-,
“Hai
Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan
wanita-wanita orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang”. (QS. Al-Ahzab: 59).
Ketika
para wanita kita diajak berjilbab yang syar’iy, maka mereka enggan dan menolak
dengan dalih “kurang bebas”, “tidak modern, kuno!!”, “panas
dan pengab”, “tidak sesuai gaya anak muda”, dan sederet alasan
lemah. Lebih ironis lagi, wanita-wanita ini muak dan sinis saat melihat
saudari-saudari mereka bercadar dan mengenakan jilbab lebar dab tebal.
Tengoklah,
para lelaki muslim (tua-muda) tatkala dinasihati agar mereka memanjangkan
jenggot, karena itu adalah petunjuk Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-,
maka kalian akan melihat mereka akan memangkas, bahkan menggunduli
jenggot-jenggot mereka, tanpa malu !! Tragisnya lagi, mereka sebaliknya
malah membenci dan mencaci orang-orang yang memanjangkan jenggotnya karena
ittiba (meneladani) Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-.
Bukankah
Nabi kita -Shollallahu alaihi wa sallam- pernah bersabda,
اُعْفُوْا اللِّحَى وَخُذُوْا الشَّوَارِبَ وَغَيِّرُوْا
شَيْبَكُمْ وَلَا تَشَبَّهُوْا بِالْيَهُوْدِ وَالنَّصَارَى
“Biarkanlah
jenggot kalian tumbuh, cukurlah kumis kalian, ubahlah (semirlah) uban kalian,
dan janganlah kalian menyerupai orang Yahudi dan Nashrani ”. [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (8657).
Di-shohih-kan oleh Al-Arna'uth dalam Takhrij Al-Musnad (2/356)]
Penyerupaan
dalam penampilan lahiriah akan berpengaruh untuk menumbuhkan kasih, cinta, dan
kesetiaan dalan batin sebagaimana kecintaan dalam batin akan berpengaruh untuk
menimbulkan penyerupaan dalam penampilan lahiriah. Ini adalah masalah yang
nyata, baik secara perasaan maupun dalam prakteknya.
Lihatlah,
pemuda dan orang-orang tua saat di ajak bermajelis ilmu untuk mempelajari ilmu
agama, maka mereka berpaling dan enggan menghadirinya. Anehnya jika diajak
menghadiri majelis-majelis syaithon, seperti bar, diskotik, atau konser musik,
maka mereka akan hadir dengan langkah pasti dan hati girang.
Padahal
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah bersabda dalam menjelaskan keutamaan
majelis ilmu dan orang menghadirinya,
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ
اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ
أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ يَسْتَغْفِرُ
لَهُ مَنْ فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ حَتَّى الْحِيتَانِ فِي الْمَاءِ وَإِنَّ
فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ
الْكَوَاكِبِ إِنَّ الْعُلَمَاءَ هُمْ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ إِنَّ
الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا
الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Barangsiapa
yang menempuh suatu jalan, sedang ia mencari ilmu di dalamnya, maka Allah akan
memudahkan baginya jalan menuju surga. Sesungguhnya para malaikat akan
menghamparkan sayapnya karena mereka senang kepada pencari ilmu. Sesungguhnya
seorang penuntut akan dimohonkan ampunan oleh segala sesuatu yang ada di langit
dan bumi sampai ikan-ikan di air. Sesungguhnya keutamaan seorang yang berilmu
atas ahli ibadah laksana keutamaan bulan atas seluruh bintang-bintang. Para
ulama adalah pewaris para nabi. Sedang para nabi tidaklah mewariskan dinar dan
dirham. Mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya, maka ia
telah mengambil bagian yang cukup”
[HR. Abu Dawud dalam Kitab Al-Ilm (3641), At-Tirmidziy (2682), dan Ibnu Majah
(223)]
Walapun
demikian besar pahala yang didapatkan oleh orang yang menghadiri majelis ilmu,
tapi kebanyakan orang diantara kita enggan menghadirinya, bahkan terkadang
malu-malu dan malas-malasan. Kebanyakan orang lebih senang menghadiri
majelis-majelis setan; di dalamnya dilantunkan lagu-lagu dan syi’ar setan.
Keterasingan
para pengamal dan pejuang Sunnah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- amat
terasa di akhir zaman ini. Di saat inilah dibutuhkan kesabaran yang tinggi
dalam menghadapi berbagai macam tantangan lahir dan batin, tantangan dan
halangan.
Al-Imam
Ibnu Rajab -rahimahullah- berkata, "Orang
mukmin hanyalah terhinakan diakhir zaman disebabkan asingnya ia diantara pelaku
kerusakan dari kalangan pengumbar syubhat dan syahwat. Mereka semua (yakni,
para pelaku kerusakan itu) membenci orang mukmin, menyakitinya, karena
menyelisihi jalan mereka, menyelisihi keinginan mereka, dan pijakan
mereka". [Lihat Kasyful Kurbah (hal. 24)]
Seorang
yang menegakkan dan mengamalkan Sunnah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- di
akhir zaman ini ibarat seorang yang menggenggam bara api; ia harus bersabar dan
tegar. Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam- bersabda,
فَإِنَّ مِنْ وَرَائِكُمْ أَيَّامَ الصَّبْرِ الصَّبْرُ فِيهِ
مِثْلُ قَبْضٍ عَلَى الْجَمْرِ لِلْعَامِلِ فِيهِمْ مِثْلُ أَجْرِ خَمْسِينَ
رَجُلًا يَعْمَلُونَ مِثْلَ عَمَلِهِ
“Sesungguhnya
di belakang kalian ada hari-hari yang kesabaran di kala hari itu laksana
memegang bara api, karena bagi yang mengamalkan sunnah di hari itu dia akan
mendapatkan pahala senilai 50 amalan seorang diantara kalian (sahabat) dimana
merekan beramal seperti amalan seorang diantara kalian. [HR. Abu Dawud (3778),
dan Ibnu Majah (4004). Di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Takhrij
Al-Misykah (3172)]
Di
zaman inilah setiap orang yang membela Sunnah dan mengamalkannya akan merasakan
keasingan di tengah kaumnya, sebab pelaku kebatilan dan maksiat lebih banyak
jumlahnya. Dalam kondisi seperti ini, hendaknya para pengamal dan pejuang
Sunnah bersabar dan tetap mengikuti jalan-jalan petunjuk yang telah digariskan
oleh Al-Qur’an dan Sunnah. Al-Fudhoil bin Iyadh -rahimahullah- berkata,
اِتَّبِعْ طُرُقَ الْهُدَى وَلاَ يَضُرُّكَ قِلَّةُ
السَّالِكِيْنَ, وَإِيَّاكَ وَطُرُقَ الضَّلاَلَةِ وَلاَ تَغْتَرَّ بِكَثْرَةِ
الْهَالِكِيْنَ
"Ikutilah
jalan-jalan petunjuk; anda tak akan dibahayakan oleh sedikitnya orang-orang yang
menapaki jalan-jalan petunjuk. Waspadalah engkau terhadap jalan-jalan
kesesatan, dan jangan tertipu dengan banyaknya orang-orang yang binasa". [Lihat Al-I’tishom (1/135), tahqiq Masyhur
Hasan Salman]
Tetaplah
bersabar di atas Sunnah, walaupun banyak orang-orang binasa yang membencimu
karena mengamalkan Sunnah (petunjuk) Nabi Muhammad -Shallallahu alaihi wa
sallam-. Kesudahan yang baik akan kalian raih di sisi Robb-mu, insya Allah.
Inilah
beberapa buah patah kata sebagai risalah penghibur bagi para pencinta Sunnah.
Mudah-mudahan bisa menjadi pelipur lara di kala menghadapi para pembenci Sunnah
yang melecehkan para pencinta Sunnah. Inilah sedikit nasihat dari saudara yang
kasihan dan cinta kepadamu. Semoga Allah -Azza wa Jalla- mematikan kita di atas
Sunnah Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- sehingga kita termasuk
golongan orang-orang yang akan mendatangi telaga Nabi -Shallallahu alaihi wa
sallam-.
Sumber : almakassari.com, Buletin Jum’at At-Tauhid edisi 111 Tahun II. Penerbit :
Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec.
Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah).
Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al
Atsary, Lc. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc.
Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham
Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar