Senin, 04 Maret 2013

Berjabat Tangan setelah Sholat



Mengucapkan salam dan berjabat tangan kepada sesama muslim saat berjumpa dan berpisah dengannya adalah perkara yang terpuji dan disukai dalam Islam. Dengan perbuatan ini, hati kaum Muslimin dapat saling bersatu dan berkasih sayang di antara mereka. Sunnah ini sudah lama diamalkan oleh para sahabat -radhiyallahu ‘anhum-.
Qotadah -rahimahullah- berkata, “Aku bertanya kepada Anas bin Malik -radhiyallahu ‘anhu-, “Apakah ada jabat tangan di kalangan sahabat Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-?” Anas berkata, “Ya, ada”.[HR. Al-Bukhoriy dalam Ash-Shohih (5908), Abu Ya’la dalam Al-Musnad (2871), Ibnu Hibban (492), dan Al-Baihaqiy dalam Al-Kubra (13346)]
Sunnah ini dilakukan oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- , dan para sahabatnya ketika mereka bertemu dan berpisah. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا.
“Tidaklah dua orang muslim bertemu, lalu keduanya berjabatan tangan, kecuali akan diampuni keduanya sebelum berpisah”. [HR. Abu Dawud dalam As-Sunan (5212), At-Tirmidziy dalam As-Sunan (2727), Ahmad dalam Al-Musnad (4/289), dan lainnya. Hadits ini di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Shohih At-Targhib (3/32/no.2718)]

Berjabat tangan menyebabkan bergugurannya dosa-dosa seorang mukmin. Inilah yang pernah dinyatakan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam sabdanya,
إِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا لَقِيَ الْمُؤْمِنَ وَأَخَذَ بِيَدِهِ فَصَافَحَهُ تَنَاثَرَتْ خَطَايَاهُمَا كَمَا يَتَنَاثَرُ وَرَقُ الشَّجَرُ.
“Sesungguhnya seorang mukmin jika bertemu dengan seorang mukmin, dan mengambil tangannya, lalu ia menjabatinya, maka akan berguguran dosa-dosanya sebagaimana daun pohon berguguran”. [HR. Ath-Thobroniy dalam Al-Ausath (245). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Shohih At-Targhib (no.2720)]
Karena keutamaan besar seperti ini, para sahabat memiliki kebiasaan saat bertemu dengan kawannya, mereka saling berjabatan tangan. Anas bin Malik -radhiyallahu anhu- berkata,
كَانَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا تَلاَقَوْا تَصَافَحُوْا وَإِذَا قَدِمُوْا مِنْ سَفَرٍ تَعَانَقُوْا.
“Dulu para sahabat Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, apabila mereka bertemu, maka mereka berjabatan tangan. Jika mereka datang dari safar, maka mereka berpelukan”. [HR. Ath-Thobroniy dalam Al-Ausath. Hadits ini di-hasan-kan oleh Al-Albaniy dalam Shohih At-Targhib (2719)]
Namun apa yang terjadi jika perbuatan terpuji ini dilakukan tidak pada tempat yang semestinya?! Tidak ada kebaikan yang didapat, bahkan pelanggaran syari’atlah yang terjadi, dan perpecahan, karena ada sebagian jama’ah, jika selesai sholat, ia langsung menjabati orang. Jika tidak dilayani jabatan, maka ia marah, dan jengkel kepada saudaranya yang tak mau jabatan setelah sholat.
Syaikh Abdullah bin Abdur Rahman Al-Jibrin -hafizhohullah- berkata, “Mayoritas orang yang shalat mengulurkan tangan mereka untuk berjabat tangan dengan orang di sampingnya setelah salam dari shalat fardlu dan mereka berdoa dengan ucapan mereka ‘taqabbalallah’. Perkara ini adalah bid’ah yang tidak pernah dinukil dari Salaf”. [Lihat Majalah Al-Mujtama’  (no. 855)].
Bagaimana mereka melakukan hal itu sedangkan para peneliti dari kalangan ulama telah menukil bahwa jabat tangan dengan tata cara tersebut (setelah salam dari shalat) adalah bid’ah? Suatu perbuatan yang tak ada contohnya dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- , dan para sahabatnya.
Tragisnya lagi, jika ada diantara kaum muslimin yang menganggap jabat tangan sebagai sunnah, apalagi wajib, sehingga mereka membenci saudaranya yang tak mau berjabatan tangan sehabis sholat dengan berbagai macam dalih, bahwa yang tidak berjabat tangan menganggap orang lain najis, benci kepada saudaranya, tidak ada rasa ukhuwahnya, dan kekompakan, serta anggapan dan buruk sangka lainnya. Padahal saudaranya tidak mau berjabatan tangan usai sholat, karena ia tahu hal ini tak ada contohnya jika dilakukan habis sholat, bahkan itu merupakan bid’ah. Bukan karena benci dan najis!!!
Seorang ulama Syafi’iyyah, Al ‘Izz bin Abdus Salam Asy-Syafi’iy -rahimahullah- berkata, “Jabat tangan setelah shalat Shubuh dan Ashar termasuk bid’ah, kecuali bagi yang baru datang dan bertemu dengan orang yang menjabat tangannya sebelum shalat. Maka sesungguhnya jabat tangan disyaratkan tatkala datang. Nabi -Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam- berdzikir setelah shalat dengan dzikir-dzikir yang disyariatkan dan beristighfar tiga kali kemudian berpaling. Diriwayatkan bahwa beliau berdzikir :
رَبِّ قِِنِيْ عَذَابَكَ يَوْمَ تَبْعَثُ عِبَادَكَ
“Wahai Rabbku, jagalah saya dari adzab-Mu pada hari Engkau bangkitkan hamba-Mu.” [HR. Muslim (no. 62), At-Tirmidzi (no. 3398 dan 3399), dan Ahmad dalam Al-Musnad (4/290)]. Kebaikan seluruhnya adalah dalam mengikuti Rasul”. [Lihat Fatawa Al ‘Izz bin Abdus Salam (hal.46-47), dan Al Majmu’ (3/488)].
Apabila bid’ah ini di masa Al-Izz Ibnu Abdis Salam terbatas setelah dua shalat tersebut, maka sungguh di jaman kita ini,  hal itu telah terjadi pada seluruh shalat. Laa haula wala quwwata illa billah.
Al Luknawiy -rahimahullah- berkata, “Sungguh telah tersebar dua perkara di masa kita ini pada mayoritas negeri, khususnya di negeri-negeri yang menjadi lahan subur berbagai bid’ah dan fitnah. Pertama, mereka tidak mengucapkan salam ketika masuk masjid waktu shalat Shubuh, bahkan mereka masuk dan shalat sunnah kemudian shalat fardlu. Lalu sebagian mereka mengucapkan salam atas sebagian yang lain setelah shalat dan seterusnya. Hal ini adalah perkara yang jelek, karena sesungguhnya salam hanya disunnahkan tatkala bertemu sebagaimana telah ditetapkan dalam riwayat-riwayat yang shahih, bukan tatkala telah duduk. Kedua, mereka berjabat tangan setelah selesai shalat Shubuh, Ashar, dan dua hari raya, serta shalat Jum’at. Padahal pensyariatan jabat tangan juga hanya di saat awal bersua”. [Lihat As-Si’ayah fil Kasyf  Amma fi Syarh Al-Wiqayah (hal. 264)].
Dari perkataan beliau dapat dipahami bahwa jabat tangan antara dua orang atau lebih yang belum berjumpa sebelumnya tidak ada masalah. Muhaddits Negeri Syam, Syaikh Al Albaniy -rahimahullah-  berkata, “Adapun jabat tangan setelah shalat adalah bid’ah yang tidak ada keraguan padanya, kecuali antara dua orang yang belum berjumpa sebelumnya. Maka hal itu adalah sunnah sebagaimana Anda telah ketahui”. [Lihat As-Silsilah As-Shahihah (1/1/53)]
Larangan berjabat tangan setelah melaksanakan sholat merupakan perkara yang dilarang oleh para ulama’. Oleh karena itu, sebuah kesalahan besar, jika diantara kaum muslimin yang membenci saudaranya jika tidak melayaninya berjabatan tangan, lalu menganggapnya pembawa aliran sesat. Padahal mereka yang tak mau berjabatan tangan saat usai sholat memiliki sandaran dari Al-Kitab dan Sunnah, serta ucapan para ulama’.
Al-Allamah Al-Luknawiy -rahimahullah- berkata, “Di antara yang melarang perbuatan itu (jabat tangan setelah sholat), Ibnu Hajar Al-Haitamiy As-Syafi’iy, Quthbuddin bin Ala’uddin Al-Makkiy Al-Hanafiy, dan Al-Fadhil Ar-Rumiy dalam Majalis Al-Abrar menggolongkannya termasuk dari bid’ah yang jelek ketika beliau berkata, “Berjabat tangan adalah baik saat bertemu. Adapun selain saat bertemu, misalnya keadaan setelah shalat Jum’at dan dua hari raya sebagaimana kebiasaan di jaman kita adalah perbuatan tanpa landasan hadits dan dalil! Padahal telah diuraikan pada tempatnya bahwa tidak ada dalil, berarti tertolak dan tidak boleh taklid padanya.” [Lihat As-Si’ayah fil Kasyf  Amma fi Syarh Al-Wiqayah (hal. 264), Ad-Dienul Al-Khalish (4/314), Al-Madkhal (2/84), dan As-Sunan wa Al-Mubtada’at (hal. 72 dan 87)].
Beliau juga berkata, “Sesungguhnya ahli fiqih dari kelompok Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Malikiyah menyatakan dengan tegas tentang makruh dan bid’ahnya.” Beliau berkata dalam Al Multaqath, “Makruh (tidak disukai) jabat tangan setelah shalat dalam segala hal, karena sahabat tidak saling berjabat tangan setelah shalat dan bahwasanya perbuatan itu termasuk kebiasaan-kebiasaan Rafidhah.” Ibnu Hajar, seorang ulama Syafi’iyah berkata, “Apa yang dikerjakan oleh manusia berupa jabat tangan setelah shalat lima waktu adalah perkara yang dibenci, tidak ada asalnya dalam syariat.” Alangkah fasihnya perkataan beliau –rahimahullah Ta’ala- dalam ijtihad dan ikhtiarnya. Beliau berkata, “Pendapat saya, sesungguhnya mereka telah sepakat bahwa jabat tangan (setelah shalat) ini tidak ada asalnya dari syariat. Kemudian mereka berselisih tentang makruh atau mubah. Suatu masalah yang berputar antara makruh dan mubah harus difatwakan untuk melarangnya, karena menolak mudharat (kerusakan) lebih utama daripada menarik maslahat. Lalu kenapa dilakukan jabat tangan, padahal tidak ada keutamaan mengerjakan perkara yang mubah? Sementara orang-orang yang melakukannya di jaman kita menganggapnya sebagai perkara yang baik, sangat menjelek-jelekkan orang yang melarangnya, dan mereka terus-menerus dalam perkara itu. Padahal terus-menerus dalam perkara mandub (sunnah) jika berlebihan akan mengantarkan pada batas makruh. Lalu bagaimana jika terus-menerus dalam bid’ah yang tidak ada asalnya dalam syariat?! Berdasarkan hal ini, maka tidak diragukan lagi makruhnya jabat tangan usai sholat. Inilah maksud orang yang memfatwakan makruhnya. Di samping itu pemakruhan hanyalah dinukil oleh orang yang menukilnya dari pernyataan-pernyataan ulama terdahulu dan para ahli fatwa. Maka riwayat-riwayat Penulis Jam’ul Barakat, Siraj Al-Munir, dan Mathalib Al Mu’minin, mampu menandinginya, karena kelonggaran penulisnya dalam meneliti riwayat-riwayat telah terbukti. Telah diketahui oleh Jumhur Ulama bahwa mereka mengumpulkan segala yang basah dan kering (yang jelas dan yang samar). Yang lebih mengherankan lagi ialah Penulis Khazanah Ar Riwayah tatkala ia berkata dalam Aqd Al-La’ali, “Dia (Nabi) ‘Alaihis Salam berkata, “Jabat tanganlah kalian setelah shalat Shubuh, niscaya Allah akan menetapkan bagi kalian sepuluh (kebaikan)”. Konon kabarnya, Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, “Berjabat tanganlah kalian setelah shalat Ashar, niscaya kalian akan dibalas dengan rahmah dan pengampunan”. Sementara si Penulis itu tidak memahami bahwa kedua hadits ini dan yang semisalnya adalah palsu yang dibuat-buat oleh orang-orang yang berjabat tangan itu. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”.[Lihat As-Si’ayah fil Kasyf Amma fi Syarh Al Wiqayah (hal. 265)]
Terakhir, kami perlu ingatkan bahwa tidak boleh bagi seorang muslim memutuskan tasbih (dzikir) saudaranya yang Muslim, kecuali dengan sebab syar’i. Yang kami saksikan berupa adanya gangguan terhadap kaum Muslimin ketika mereka melaksanakan dzikir-dzikir sunnah setelah shalat wajib. Kemudian, tiba-tiba mereka mengulurkan tangan untuk berjabat tangan ke kanan dan ke kiri dan seterusnya. Akhirnya, membuat jama’ah lain tidak tenang dan terganggu, bukan hanya karena jabat tangan, akan tetapi karena memutuskan tasbih dan mengganggu mereka dari dzikir kepada Allah, karena jabat tangan ini. Padahal tidak ada sebab-sebab perjumpaan atau perpisahan yang membolehkan jabatan tangan.
Namun bukanlah termasuk hikmah, jika Anda menarik tangan Anda dari tangan orang di samping Anda, dan menolak tangan yang terlanjur terulur pada Anda. Karena sesungguhnya perbuatan ini adalah sikap yang kasar yang tidak dikenal dalam Islam. Akan tetapi ambillah tangannya dengan lemah lembut, dan jelaskan kepadanya bahwa  jabat tangan setelah sholat tak ada contohnya dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan para sahabatnya.
Betapa banyak orang yang terpikat dengan nasihat, dan dia memang orang yang pantas dinasihati. Hanya saja ketidaktahuan telah menjerumuskannya kepada perbuatan menyelisihi sunnah. Lantaran itu, wajib atas ulama dan penuntut ilmu menjelaskannya dengan baik. Bisa jadi seseorang atau penuntut ilmu bermaksud mengingkari kemungkaran, tetapi tidak tepat memilih metode yang selamat. Lalu dia terjerumus dalam kemungkaran yang lebih besar daripada yang diingkari sebelumnya. Karenanya, lemah lembutlah kalian dengan muslim lainnya.
Buatlah manusia mencintai kalian dengan akhlak yang baik, niscaya kalian akan menguasai hati mereka dan kalian mendapati telinga yang mendengar dan hati yang penuh perhatian dari mereka. Karena tabiat manusia adalah lari dari kekasaran dan kekerasan. [Lihat Tamam Al-Kalam fi Bid’ah Al-Mushafahah ba’da As-Salam (hal. 23), dan Al-Qaulul Mubin fi Akhtha’il Mushallin (295)]
Sumber : Buletin Jum’at At-Tauhid. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar