Mengucapkan
salam dan berjabat tangan kepada sesama muslim saat berjumpa dan berpisah
dengannya adalah perkara yang terpuji dan disukai dalam Islam. Dengan
perbuatan ini, hati kaum Muslimin dapat saling bersatu dan berkasih sayang di
antara mereka. Sunnah ini sudah lama diamalkan oleh para sahabat -radhiyallahu
‘anhum-.
Qotadah -rahimahullah- berkata,
“Aku bertanya kepada Anas bin Malik -radhiyallahu ‘anhu-, “Apakah ada jabat
tangan di kalangan sahabat Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-?” Anas
berkata, “Ya, ada”.[HR. Al-Bukhoriy dalam Ash-Shohih (5908),
Abu Ya’la dalam Al-Musnad (2871), Ibnu Hibban (492), dan
Al-Baihaqiy dalam Al-Kubra (13346)]
Sunnah ini dilakukan oleh Nabi -Shallallahu
‘alaihi wa sallam- , dan para sahabatnya ketika mereka bertemu dan
berpisah. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ
فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا.
“Tidaklah dua orang muslim bertemu,
lalu keduanya berjabatan tangan, kecuali akan diampuni keduanya sebelum
berpisah”. [HR. Abu Dawud dalam As-Sunan (5212),
At-Tirmidziy dalam As-Sunan (2727), Ahmad dalam Al-Musnad (4/289),
dan lainnya. Hadits ini di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Shohih
At-Targhib (3/32/no.2718)]
Berjabat tangan menyebabkan
bergugurannya dosa-dosa seorang mukmin. Inilah yang pernah dinyatakan oleh Nabi
-Shallallahu alaihi wa sallam- dalam sabdanya,
إِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا لَقِيَ
الْمُؤْمِنَ وَأَخَذَ بِيَدِهِ فَصَافَحَهُ تَنَاثَرَتْ خَطَايَاهُمَا كَمَا
يَتَنَاثَرُ وَرَقُ الشَّجَرُ.
“Sesungguhnya seorang mukmin jika
bertemu dengan seorang mukmin, dan mengambil tangannya, lalu ia menjabatinya,
maka akan berguguran dosa-dosanya sebagaimana daun pohon berguguran”. [HR. Ath-Thobroniy dalam Al-Ausath (245).
Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Shohih
At-Targhib (no.2720)]
Karena keutamaan besar seperti ini,
para sahabat memiliki kebiasaan saat bertemu dengan kawannya, mereka saling
berjabatan tangan. Anas bin Malik -radhiyallahu anhu- berkata,
كَانَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ -صلى الله
عليه وسلم- إِذَا تَلاَقَوْا تَصَافَحُوْا وَإِذَا قَدِمُوْا مِنْ سَفَرٍ
تَعَانَقُوْا.
“Dulu para sahabat Nabi -Shallallahu
‘alaihi wa sallam-, apabila mereka bertemu, maka mereka berjabatan tangan. Jika
mereka datang dari safar, maka mereka berpelukan”. [HR. Ath-Thobroniy dalam Al-Ausath. Hadits
ini di-hasan-kan oleh Al-Albaniy dalam Shohih At-Targhib
(2719)]
Namun apa yang terjadi jika
perbuatan terpuji ini dilakukan tidak pada tempat yang semestinya?! Tidak ada
kebaikan yang didapat, bahkan pelanggaran syari’atlah yang terjadi, dan
perpecahan, karena ada sebagian jama’ah, jika selesai sholat, ia langsung
menjabati orang. Jika tidak dilayani jabatan, maka ia marah, dan jengkel
kepada saudaranya yang tak mau jabatan setelah sholat.
Syaikh Abdullah bin Abdur Rahman
Al-Jibrin -hafizhohullah- berkata, “Mayoritas
orang yang shalat mengulurkan tangan mereka untuk berjabat tangan dengan orang
di sampingnya setelah salam dari shalat fardlu dan mereka berdoa dengan ucapan
mereka ‘taqabbalallah’. Perkara ini adalah bid’ah yang tidak pernah dinukil
dari Salaf”. [Lihat Majalah Al-Mujtama’ (no. 855)].
Bagaimana mereka melakukan hal itu
sedangkan para peneliti dari kalangan ulama telah menukil bahwa jabat tangan
dengan tata cara tersebut (setelah salam dari shalat) adalah bid’ah? Suatu
perbuatan yang tak ada contohnya dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- ,
dan para sahabatnya.
Tragisnya lagi, jika ada diantara
kaum muslimin yang menganggap jabat tangan sebagai sunnah, apalagi wajib,
sehingga mereka membenci saudaranya yang tak mau berjabatan tangan sehabis
sholat dengan berbagai macam dalih, bahwa yang tidak berjabat tangan menganggap
orang lain najis, benci kepada saudaranya, tidak ada rasa ukhuwahnya, dan
kekompakan, serta anggapan dan buruk sangka lainnya. Padahal saudaranya tidak
mau berjabatan tangan usai sholat, karena ia tahu hal ini tak ada contohnya
jika dilakukan habis sholat, bahkan itu merupakan bid’ah. Bukan karena benci
dan najis!!!
Seorang ulama Syafi’iyyah, Al ‘Izz
bin Abdus Salam Asy-Syafi’iy -rahimahullah-
berkata, “Jabat tangan setelah
shalat Shubuh dan Ashar termasuk bid’ah, kecuali bagi yang baru datang dan
bertemu dengan orang yang menjabat tangannya sebelum shalat. Maka sesungguhnya
jabat tangan disyaratkan tatkala datang. Nabi -Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam-
berdzikir setelah shalat dengan dzikir-dzikir yang disyariatkan dan
beristighfar tiga kali kemudian berpaling. Diriwayatkan bahwa beliau berdzikir
:
رَبِّ قِِنِيْ عَذَابَكَ يَوْمَ
تَبْعَثُ عِبَادَكَ
“Wahai Rabbku, jagalah saya dari
adzab-Mu pada hari Engkau bangkitkan hamba-Mu.” [HR. Muslim (no. 62),
At-Tirmidzi (no. 3398 dan 3399), dan Ahmad dalam Al-Musnad (4/290)].
Kebaikan seluruhnya adalah dalam mengikuti Rasul”. [Lihat Fatawa Al ‘Izz bin Abdus Salam
(hal.46-47), dan Al Majmu’ (3/488)].
Apabila bid’ah ini di masa Al-Izz
Ibnu Abdis Salam terbatas setelah dua shalat tersebut, maka sungguh di jaman
kita ini, hal itu telah terjadi pada seluruh shalat. Laa haula wala
quwwata illa billah.
Al Luknawiy -rahimahullah- berkata, “Sungguh telah tersebar
dua perkara di masa kita ini pada mayoritas negeri, khususnya di negeri-negeri
yang menjadi lahan subur berbagai bid’ah dan fitnah. Pertama, mereka
tidak mengucapkan salam ketika masuk masjid waktu shalat Shubuh, bahkan mereka
masuk dan shalat sunnah kemudian shalat fardlu. Lalu sebagian mereka
mengucapkan salam atas sebagian yang lain setelah shalat dan seterusnya. Hal
ini adalah perkara yang jelek, karena sesungguhnya salam hanya disunnahkan
tatkala bertemu sebagaimana telah ditetapkan dalam riwayat-riwayat yang shahih,
bukan tatkala telah duduk. Kedua, mereka berjabat tangan setelah selesai
shalat Shubuh, Ashar, dan dua hari raya, serta shalat Jum’at. Padahal
pensyariatan jabat tangan juga hanya di saat awal bersua”. [Lihat As-Si’ayah
fil Kasyf Amma fi Syarh Al-Wiqayah (hal. 264)].
Dari perkataan beliau dapat dipahami
bahwa jabat tangan antara dua orang atau lebih yang belum berjumpa sebelumnya
tidak ada masalah. Muhaddits Negeri Syam, Syaikh Al Albaniy -rahimahullah-
berkata, “Adapun jabat tangan setelah shalat adalah bid’ah yang
tidak ada keraguan padanya, kecuali antara dua orang yang belum berjumpa
sebelumnya. Maka hal itu adalah sunnah sebagaimana Anda telah ketahui”.
[Lihat As-Silsilah As-Shahihah (1/1/53)]
Larangan berjabat tangan setelah
melaksanakan sholat merupakan perkara yang dilarang oleh para ulama’. Oleh
karena itu, sebuah kesalahan besar, jika diantara kaum muslimin yang membenci
saudaranya jika tidak melayaninya berjabatan tangan, lalu menganggapnya pembawa
aliran sesat. Padahal mereka yang tak mau berjabatan tangan saat usai sholat
memiliki sandaran dari Al-Kitab dan Sunnah, serta ucapan para ulama’.
Al-Allamah Al-Luknawiy -rahimahullah- berkata, “Di antara yang melarang
perbuatan itu (jabat tangan setelah sholat), Ibnu Hajar Al-Haitamiy
As-Syafi’iy, Quthbuddin bin Ala’uddin Al-Makkiy Al-Hanafiy, dan Al-Fadhil
Ar-Rumiy dalam Majalis Al-Abrar menggolongkannya termasuk dari bid’ah
yang jelek ketika beliau berkata, “Berjabat tangan adalah baik saat bertemu.
Adapun selain saat bertemu, misalnya keadaan setelah shalat Jum’at dan dua hari
raya sebagaimana kebiasaan di jaman kita adalah perbuatan tanpa landasan hadits
dan dalil! Padahal telah diuraikan pada tempatnya bahwa tidak ada dalil,
berarti tertolak dan tidak boleh taklid padanya.” [Lihat As-Si’ayah
fil Kasyf Amma fi Syarh Al-Wiqayah (hal. 264), Ad-Dienul
Al-Khalish (4/314), Al-Madkhal (2/84), dan As-Sunan
wa Al-Mubtada’at (hal. 72 dan 87)].
Beliau juga berkata, “Sesungguhnya
ahli fiqih dari kelompok Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Malikiyah menyatakan dengan
tegas tentang makruh dan bid’ahnya.” Beliau berkata dalam Al Multaqath,
“Makruh (tidak disukai) jabat tangan setelah shalat dalam segala hal, karena
sahabat tidak saling berjabat tangan setelah shalat dan bahwasanya perbuatan itu
termasuk kebiasaan-kebiasaan Rafidhah.” Ibnu Hajar, seorang ulama
Syafi’iyah berkata, “Apa yang dikerjakan oleh manusia berupa jabat tangan
setelah shalat lima waktu adalah perkara yang dibenci, tidak ada asalnya dalam
syariat.” Alangkah fasihnya perkataan beliau –rahimahullah Ta’ala- dalam
ijtihad dan ikhtiarnya. Beliau berkata, “Pendapat saya, sesungguhnya mereka
telah sepakat bahwa jabat tangan (setelah shalat) ini tidak ada asalnya dari
syariat. Kemudian mereka berselisih tentang makruh atau mubah. Suatu masalah
yang berputar antara makruh dan mubah harus difatwakan untuk melarangnya,
karena menolak mudharat (kerusakan) lebih utama daripada menarik maslahat. Lalu
kenapa dilakukan jabat tangan, padahal tidak ada keutamaan mengerjakan perkara
yang mubah? Sementara orang-orang yang melakukannya di jaman kita menganggapnya
sebagai perkara yang baik, sangat menjelek-jelekkan orang yang melarangnya, dan
mereka terus-menerus dalam perkara itu. Padahal terus-menerus dalam perkara
mandub (sunnah) jika berlebihan akan mengantarkan pada batas makruh. Lalu
bagaimana jika terus-menerus dalam bid’ah yang tidak ada asalnya dalam
syariat?! Berdasarkan hal ini, maka tidak diragukan lagi makruhnya jabat
tangan usai sholat. Inilah maksud orang yang memfatwakan makruhnya. Di samping
itu pemakruhan hanyalah dinukil oleh orang yang menukilnya dari
pernyataan-pernyataan ulama terdahulu dan para ahli fatwa. Maka riwayat-riwayat
Penulis Jam’ul Barakat, Siraj Al-Munir, dan Mathalib Al
Mu’minin, mampu menandinginya, karena kelonggaran penulisnya dalam meneliti
riwayat-riwayat telah terbukti. Telah diketahui oleh Jumhur Ulama bahwa mereka
mengumpulkan segala yang basah dan kering (yang jelas dan yang samar). Yang
lebih mengherankan lagi ialah Penulis Khazanah Ar Riwayah tatkala ia
berkata dalam Aqd Al-La’ali, “Dia (Nabi) ‘Alaihis Salam berkata, “Jabat
tanganlah kalian setelah shalat Shubuh, niscaya Allah akan menetapkan bagi
kalian sepuluh (kebaikan)”. Konon kabarnya, Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
bersabda, “Berjabat tanganlah kalian setelah shalat Ashar, niscaya kalian akan
dibalas dengan rahmah dan pengampunan”. Sementara si Penulis itu tidak memahami
bahwa kedua hadits ini dan yang semisalnya adalah palsu yang dibuat-buat
oleh orang-orang yang berjabat tangan itu. Inna lillahi wa inna ilaihi
raji’un”.[Lihat As-Si’ayah fil Kasyf Amma fi Syarh Al Wiqayah
(hal. 265)]
Terakhir, kami perlu ingatkan bahwa
tidak boleh bagi seorang muslim memutuskan tasbih (dzikir) saudaranya
yang Muslim, kecuali dengan sebab syar’i. Yang kami saksikan berupa adanya
gangguan terhadap kaum Muslimin ketika mereka melaksanakan dzikir-dzikir sunnah
setelah shalat wajib. Kemudian, tiba-tiba mereka mengulurkan tangan untuk
berjabat tangan ke kanan dan ke kiri dan seterusnya. Akhirnya, membuat
jama’ah lain tidak tenang dan terganggu, bukan hanya karena jabat tangan, akan
tetapi karena memutuskan tasbih dan mengganggu mereka dari dzikir kepada
Allah, karena jabat tangan ini. Padahal tidak ada sebab-sebab perjumpaan atau
perpisahan yang membolehkan jabatan tangan.
Namun bukanlah termasuk hikmah, jika
Anda menarik tangan Anda dari tangan orang di samping Anda, dan menolak tangan
yang terlanjur terulur pada Anda. Karena sesungguhnya perbuatan ini adalah
sikap yang kasar yang tidak dikenal dalam Islam. Akan tetapi ambillah tangannya
dengan lemah lembut, dan jelaskan kepadanya bahwa jabat tangan setelah
sholat tak ada contohnya dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan
para sahabatnya.
Betapa banyak orang yang terpikat
dengan nasihat, dan dia memang orang yang pantas dinasihati. Hanya saja
ketidaktahuan telah menjerumuskannya kepada perbuatan menyelisihi sunnah.
Lantaran itu, wajib atas ulama dan penuntut ilmu menjelaskannya dengan baik.
Bisa jadi seseorang atau penuntut ilmu bermaksud mengingkari kemungkaran,
tetapi tidak tepat memilih metode yang selamat. Lalu dia terjerumus dalam
kemungkaran yang lebih besar daripada yang diingkari sebelumnya. Karenanya,
lemah lembutlah kalian dengan muslim lainnya.
Buatlah manusia mencintai kalian
dengan akhlak yang baik, niscaya kalian akan menguasai hati mereka dan kalian
mendapati telinga yang mendengar dan hati yang penuh perhatian dari mereka.
Karena tabiat manusia adalah lari dari kekasaran dan kekerasan. [Lihat Tamam
Al-Kalam fi Bid’ah Al-Mushafahah ba’da As-Salam (hal. 23), dan Al-Qaulul
Mubin fi Akhtha’il Mushallin (295)]
Sumber : Buletin Jum’at At-Tauhid. Penerbit : Pustaka Ibnu
Abbas. Alamat : Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto
Marannu, Gowa-Sulsel. Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah
Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir
Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi :
Ilham Al-Atsary (085255974201).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar