Allah -Ta’ala- berfirman,
"Hai anak Adam, pakailah
perhiasan kalian di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah
berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berlebih-lebihan". (QS. Al-A’raaf:
31).
Al-Imam Isma’il bin Umar bin Katsir
Ad-Dimasyqiy-rahimahullah- berkata saat menafsirkan ayat ini, "Berdasarkan
ayat ini dan hadits yang semakna dengannya dari Sunnah, maka dianjurkan berhias
ketika hendak sholat, terlebih lagi di hari Jum’at, hari ied, dan juga
(dianjurkan) menggunakan minyak wangi, karena ia termasuk perhiasan, serta
(menggunakan) siwak, karena ia kesempurnaan hal itu. Diantara pakaian yang
paling utama adalah pakaian putih". [Lihat Tafsir Ibnu Katsir
(2/281)]
Diantara perhiasan seorang mukmin
adalah penutup kepala, seperti songkok, dan imamah (surban). Kebiasaan
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, dan para sahabatnya, baik dalam
sholat, maupun di luar sholat, mereka senantiasa mengenakan imamah
(surban), burnus (penutup kepala yang bersambung dengan pakaian), atau
songkok. Adapun kebiasaan menelanjangi kepala, tanpa songkok atau surban, maka
ini adalah kebiasaan orang di luar Islam.
Amr bin Huroits -radhiyallahu
‘anhu- berkata,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطَبَ وَعَلَيْهِ عِمَامَةٌ سَوْدَاءُ
"Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa
sallam- pernah berkhutbah, sedang beliau memakai surban hitam". [HR. Muslim dalam Shohih-nya (1359), Abu
Dawud dalam Sunan-nya (4077), Ibnu Majah dalam Sunan-nya
(1104 & 3584)]
Al-Hasan Al-Bashriy -rahimahullah-
berkata dalam menceritakan kebiasaan sahabat dalam memakai songkok dan imamah,
كَانَ الْقَوْمُ يَسْجُدُوْنَ عَلَى
الْعِمَامَةِ وَالْقَلَنْسُوَةِ وَيَدَاهُ فِيْ كَمِّهِ
"Dahulu kaum itu (para sahabat)
bersujud pada surban, dan songkok (peci), sedang kedua tangannya pada lengan
bajunya". [HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab
Ash-Sholah: Bab As-Sujud ala Ats-Tsaub fi Syiddah Al-Harr
(1/150) secara mu'allaq dengan shighoh jazm, Abdur Razzaq dalam Al-Mushonnaf
(1566)]
Abdullah bin Sa’id-rahimahullah-
berkata,
رَأَيْتُ عَلَى عَلِيِّ بْنِ
الْحُسَيْنِ قَلَنْسُوَةً بَيْضَاءَ مِصُرِيَّةً
"Aku lihat pada Ali bin
Al-Husain ada sebuah songkok putih buatan Mesir". [HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf
(24855)]
Inilah beberapa hadits dan atsar
yang menunjukkan bahwa para salaf (Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-,
sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in), dan generasi setelahnya memiliki
akhlaq, dan kebiasaan, yaitu menutup kepala baik di luar sholat, apalagi dalam
sholat. Kebiasaan dan sunnah ini telah ditinggalkan oleh generasi Islam,
hanya karena alasan malu, dan tidak sesuai zaman –menurut sangkaannya- !!
Terlebih lagi dengan munculnya berbagai macam model, dan gaya rambut yang
terkenal, seperti model Duran-Duran, Bechkham, Mandarin,
dan lainnya. Semua ini menyebabkan sunnah memakai penutup kepala mulai pudar,
dan menghilang. Nas’alullahas salamah minal fitan.
Jadi, disunnahkan bagi setiap orang
yang mau melaksanakan shalat untuk mengenakan pakaian yang layak dan paling
sempurna. Di antara kesempurnaan busana shalat adalah dengan memakai imamah
(sorban), songkok, atau lainnya yang biasa dikenakan di kepala ketika
beribadah. Boleh melakukan shalat dengan membuka kepala bagi kaum laki-laki,
sebab kepala hanya menjadi aurat bagi kaum wanita, bukan untuk kaum pria. Namun
tentunya jangan dijadikan kebiasaan seorang masuk ke dalam sholat ataupun di
luar sholat tanpa mengenakan surban atau songkok.
Seorang yang tidak memakai penutup
kepala -tanpa udzur-, maka makruh hukumnya. Terlebih lagi ketika melakukan
shalat fardhu, dan teristimewa lagi ketika mengerjakannya secara berjamaah.
[Lihat As-Sunan wal Mubtadaat (hal. 69) karya Asy-Syuqoiriy].
Syaikh Muhammad Nashiruddin
Al-Albaniy-rahimahullah- berkata, "Menurut hematku, sesungguhnya shalat
dengan tidak memakai tutup kepala hukumnya adalah makruh. Karena merupakan
sesuatu yang sangat disunnahkan jika seorang muslim melakukan shalat dengan
memakai busana islami yang sangat sempurna, sebagaimana yang telah disebutkan
dalam hadits: "Karena sesungguhnya Allah paling berhak untuk dihadapi
dengan berhias diri." (Permulaan hadits di atas adalah:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَلْبَسْ
ثَوْبَيْهِ فَإِنَّ اللهَ أَحَقُّ مَنْ تُزُيِّنَ لَهُ
"Jika salah seorang dari kalian
mengerjakan shalat, maka hendaklah dia memakai dua potong bajunya. Karena
sesungguhnya Allah paling berhak untuk dihadapi dengan berhias diri." [HR Ath-Thahawi di dalam Syarh Ma'aani Al-Atsar
(1/221), Ath-Thabrani, dan Al-Baihaqi di dalamAs-Sunan Al-Kubra
(2/236) dengan sanad yang hasan. Hal ini sebagaimana yang disebutkan
dalamAl-Majma' Az-Zawa'id (2/51). Lihat juga As-Silsilah
Ash-Shahihah no. 1369]
Syaikh Al-Albaniy berkata lagi, "Tidak memakai tutup kepala bukan
kebiasaan baik yang dikerjakan oleh para ulama salaf, baik ketika mereka
berjalan di jalan maupun ketika memasuki tempat-tempat ibadah. Kebiasaan tidak
memakai tutup kepala sebenarnya tradisi yang dikerjakan oleh orang-orang asing.
Ide ini memang sengaja diselundupkan ke negara-negara muslim ketika mereka melancarkan
kolonialisasi. Mereka mengerjakan kebiasaan buruk ini ; namun sayangnya malah
diikuti oleh umat Islam. Mereka telah mengenyampingkan kepribadian dan tradisi
keislaman mereka sendiri. Inilah sebenarnya pengaruh buruk yang dibungkus
sangat halus yang tidak pantas untuk merusak tradisi umat islam dan juga tidak
bisa dijadikan sebagai alasan untuk memperbolehkan shalat tanpa memakai tutup
kepala.
Adapun argumentasi yang membolehkan
membiarkan kepala tanpa tutup seperti yang dikemukakan oleh sebagian orang dari
Jama’ah Anshorus Sunnah di Mesir adalah dengan mengkiaskannya kepada busana
orang yang sedang memakai baju ihram ketika melaksanakan ibadah haji. Ini
adalah usaha kias terburuk yang mereka lakukan. Bagaimana hal ini bisa terjadi,
sedangkan tidak menutup kepala ketika ihram adalah syi’ar dalam agama dan
termasuk dalam manasik, yang jelas tidak sama dengan aturan ibadah lainnya.
Seandainya kias yang mereka lakukan
itu benar, pasti akan terbentur juga dengan pendapat yang mengatakan tentang
kewajiban untuk membiarkan kepala agar tetap terbuka ketika ihram. Karena itu
merupakan kewajiban dalam rangkaian ibadah haji. [Lihat Tamamul Minnah fit Ta'liq 'ala Fiqhis Sunnah
(hal. 164-165)].
Tidak pernah disebutkan sebuah
riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam-
tidak memakai tutup kepala ketika shalat kecuali hanya ketika ihram.
Barangsiapa yang menyangka beliau pernah tidak memakai imamah ketika shalat
-selain pada saat melakukan ihram-, maka dia harus bisa menunjukkan dalilnya.
Yang benar itulah yang paling berhak untuk diikuti. [Lihat Ad-Dinul
Khalish (3/214) dan Al-Ajwibah An-Nafi'ah an Al-Masa'il
Al-Waqi'ah (hal.110)]
Yang perlu disebutkan di sini adalah
bahwa shalat tanpa mengenakan tutup kepala hukumnya adalah makruh saja, dan
sholat tidak batal sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Baghawi dan mayoritas
ulama lain. Namun jangan disangka kalau hukum sekedar makruh, oh boleh
dengan bebas tidak pakai tutup kepala, tidak demikian !! Karena ini bukan
kebiasaan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan para sahabat. [Lihat Al-Majmu’
(2/51).
Anggapan orang awam bahwa menjadi
makmum di belakang imam yang tidak memakai tutup kepala adalah tidak boleh. Ini
adalah tidak benar. Tidak bisa disangkal kalau itu memang lebih baik tidak dilakukan,
sebelum seorang imam memenuhi semua syarat kesempurnaan shalat, dan mengikuti
semua sunnah Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- . Hanya kepada Allah
kita memohon perlindungan.
Sumber : almakassari.com, Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 75 Tahun II.
Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel.
Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust.
Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul
Qadir Al Atsary, Lc. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al
Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi :
Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar