Sholat
menghadap sutroh (penghalang), baik itu berupa dinding, tombak, rumah,
bangunan, kendaraan, bebatuan merupakan sunnah Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa
sallam- yang hukumnya wajib dikerjakan oleh umat Islam.
Sunnah
ini telah banyak dan sering disepelekan oleh kamum muslimin. Realita seperti
ini amat jelas terlihat di masjid-masjid kaum muslimin, terlebih lagi jika
di bulan Romadhon, dan waktu-waktu sholat lainnya. Padahal Nabi -Shallallahu
‘alaihi wa sallam- telah lama mengajarkan kepada umatnya tentang wajibnya
seseorang menggunakan sutroh (penghalang) yang menghalangi rusaknya sholat
kita dari gangguan setan sebagaimana yang disebutkan oleh Nabi -Shallallahu
‘alaihi wa sallam-, dan juga menghalangi orang yang lewat. Tak heran jika
kebanyakan diantara kita tidak khusyu’ sholat, karena ia meninggalkan petunjuk
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- ini.
Meletakkan
dan menggunakan sutroh telah dijelaskan oleh para ulama kita dalam
kitab-kitab mereka bahwa hukumnya wajib berdasarkan beberapa hadits dari Nabi -Shallallahu
‘alaihi wa sallam- dan atsar dari para sahabat -radhiyallahu ‘anhum-.
Ibnu
Umar -radhiyallahu anhu- berkata, “Rasulullah -Shallallahu alaihi wa
sallam- bersabda,
لاَ تُصَلِّ إِلاَّ إِلَى سُتْرَةٍ وَلاَ تَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْكَ, فَإِنْ أَبَى فَلْتُقَاتِلْهُ فَإِنَّ مَعَهُ الْقَرِيْنَ
”Janganlah
kamu shalat kecuali menghadap sutroh (penghalang), dan janganlah kamu biarkan
ada seorang pun lewat di hadapanmu. Jika dia enggan (untuk dicegah), maka
perangilah dia. Karena sesungguhnya orang itu disertai teman (setan).” [HR. Ibnu Khuzaimah (820).
Hadits ini dikuatkan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Talkhish Sifah
Ash-Sholah (hal.7)].
Abi
Sa’id Al-Khudri -radhiyallahu anhu- berkata, “Rasulullah -Shallallahu
alaihi wa sallam- bersabda,
إَذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ وَلْيَدْنُ مِنْهَا وَلاَ يَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا, فَإِنْ جَاءَ أَحَدٌ يَمُرُّ فَلْيُقَاتِلْهُ فَإِنَّهُ شَيْطَانٌ
“Jika
salah seorang dari kalian mengerjakan shalat, maka hendaklah dia menghadap
sutroh (penghalang) dan hendaklah dia mendekati sutroh tersebut. Janganlah
membiarkan seorang pun lewat di antara dirinya dan sutroh itu. Jika masih ada
seseorang yang lewat, maka hendaklah dia memeranginya. Karena sesungguhnya dia
itu adalah setan.” [HR.
Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (2875), Abu Daud dalam sunan-nya
(697) dan Ibnu Majah dalam sunan-nya (954). Hadits ini di-hasan-kan
oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Shohih Al-Jami' (641 & 651)
Dari
Sahl bin Abi Hatsmah -radhiyallahu anhu- dari Rasulullah -Shallallahu
alaihi wa sallam- beliau bersabda,
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى سُتْرَةٍ فَلْيَدْنُ مِنْهَا لاَ يَقْطَعْ الشَّيْطَانُ عَلَيْهِ صَلاَتَهُ
“Apabila
salah seorang dari kalian shalat di hadapan sutroh (penghalang), maka hendaklah
dia mendekatinya. Maka setan tidak akan memotong shalatnya.” [HR.Ahmad dalam Musnad-nya
(4/2/no. 16134) dan Abu Daud dalam Sunan-nya (695), dan
An-Nasa’iy dalam Al-Mujtaba (2/62/no.748). Hadits ini di-shohih-kan
oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Takhrij Misykah Al-Mashobih (782)]
Al-Imam
Asy-Syaukaniy -rahimahullah-
berkata dalam mengomentari hadits Abu Sa’id yang telah disebut di atas, “Di
dalam hadits itu terkandung faedah bahwa memasang penghalang hukumnya wajib.” [Lihat
Nailul Authar (3/2)]
Beliau
juga berkata, “Kebanyakan hadits yang menerangkan perintah untuk memasang
sutroh (penghalang) ketika shalat menunjukkan perintah wajib. Jika memang ada
sesuatu yang bisa memalingkan perintah wajib itu menjadi perintah sunnah, maka
itulah hukumnya. Akan tetapi tidak pantas dipalingkan perintah wajib tersebut
oleh sabda Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- yang berbunyi, “Karena
sesuatu yang lewat di depan orang yang sholat tidak membahayakannya dalam
sholatnya”, karena menjauhi sesuatu yang bisa mengganggu orang yang shalat
dalam sholatnya dan bisa menghilangkan sebagian pahala sholatnya adalah wajib”.
[Lihat As-Sailul Jarrar (1/176)].
Jadi,
seorang yang meletakkan dan memasang penghalang di depannya saat sholat, maka
sholatnya tak akan batal, dan tak akan rusak. Jika ada yang lewat, sedang orang
yang sholat tersebut telah menghalanginya, maka sholatnya tak rusak, dan orang
yang lewat berdosa.
Diantara
perkara yang memperkuat kewajiban meletakkan penghalang ketika shalat,
meletakkan sutroh (penghalang) di hadapan orang yang shalat menjadi sebab
syar’i menghindari batalnya shalat, karena ada wanita baligh yang lewat,
keledai atau anjing hitam yang lewat di hadapannya sebagaimana hal itu sah
dalam hadits. Selain itu, menjadi sebab penghalang bagi orang yang mau lewat di
depan orang yang menunaikan sholat, dan lainnya diantara hukum-hukum yang
berkaitan dengan “sutroh” (penghalang di depan orang yang sholat).
[Lihat Tamam Al-Minnah (hal.300)]
Oleh
karena itulah, para salafush shaleh -radhiyallahu anhum- amat
bersemangat dalam meletakkan sutroh (penghalang) ketika sedang
mengerjakan shalat. Semua perkataan dan perbuatan mereka memberikan anjuran
kepada kita untuk meletakkan sutroh (penghalang), bahkan bersifat
perintah, serta pengingkaran terhadap orang yang shalat tanpa meletakkan sutroh
(penghalang) di hadapannya.
Qurroh
bin Iyas -radhiyallahu ‘anhu- berkata,
رَآنِيْ عُمَرُ وَأَنَا أُصَلِّيْ بَيْنَ أُسْطُوَانَتَيْنِ فَأَخَذَ بِقَفَائِيْ فَأَدْنَانِيْ إِلَى سُتْرَةٍ فَقَالَ: صَلِّ إِلَيْهَا
“Umar
melihatku sedang shalat di antara dua tiang. Dia langsung memegang leherku dan
mendekatkan aku ke sutroh (penghalang) sambil berkata, “Shalatlah menghadap
sutroh (penghalang)”. [HR.
Bukhariy dalam Shahih-nya (1/577) secara mu'allaq,
dan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (7502)
Seorang
ulama Syafi'iyyah, Al-Hafidz Ibnu Hajar
berkata, “Umar melakukan hal ini dengan maksud agar shalatnya Qurroh bin
Iyas menghadap sutroh (penghalang)”. [Lihat Fathul Bari
(1/577)]
Ibnu
Umar dia berkata,
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ وَلْيَدْنُ مِنْهَا كَيْلاَ يَمُرَّ الشَّيْطَانُ أَمَامَهُ
“Apabila
salah seorang di antara kalian mengerjakan shalat, maka hendaklah dia shalat di
hadapan sutroh dan mendekat kepadanya. Hal ini agar setan tidak lewat di
hadapannya”. [HR.
Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf (1/279/2877) dengan sanad
yang shahih].
Ibnu
Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu- berkata, “Ada empat watak kasar:
seseorang yang shalat tanpa meletakkan sutroh (penghalang) di hadapannya… atau
dia mendengarkan adzan namun tidak menjawabnya”.[HR. Al-Baihaqi di dalam As-Sunan
Al-Kubra (2/285) dan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf (1/61)].
Coba
perhatikan wahai saudara pembaca –semoga Allah memberikan hidayah-Nya
kepadaku dan kepadamu- bagaimana perintah-perintah ini datang dari
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- , yang tak pernah berbicara dari hawa
nafsunya. Tidaklah ucapan beliau, kecuali wahyu yang diberikan kepadanya;
perhatikan bagaimana beliau memerintahkan para sahabatnya sampai-sampai Sang
Khalifah, Umar -radhiyallahu anhu- yang telah kita kenal pernah
mendatangi seorang sahabat yang mulia, sedang ia shalat. Kemudian beliau
memegang lehernya untuk didekatkan ke-sutroh (penghalang). Perhatikan
pula Ibnu Mas’ud -radhiyallahu anhu-, beliau menyamakan shalat seseorang
yang tidak meletakkan sutroh (penghalang) dengan mereka yang tidak
menjawab panggilan adzan.
Anas -radhiyallahu
anhu- dia berkata,
لَقَدْ رَأَيْتُ كِبَارَ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَبْتَدِرُوْنَ السَّوَارِيَ عِنْدَ الْمَغْرِبِ حَتَّى يَخْرُجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Sungguh
aku telah melihat para pembesar sahabat Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-
berlomba-lomba mendekati tiang penghalang ketika waktu maghrib sampai Nabi
-Shallallahu alaihi wa sallam- keluar (dari rumahnya)”. [HR. Bukhari di dalam kitab
Shahih-nya (481)].
Anas
bin Malik -radhiyallahu ‘anhu- juga berkata,
كَانَ الْمُؤَذِّنُ إِذَا أَذَّنَ قَامَ نَاسٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَبْتَدِرُوْنَ السَّوَارِيَ حَتَّى يَخْرُجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُمْ كَذَلِكَ يُصَلُّوْنَ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ
“Dahulu
seorang muadzdzin jika usai adzan, maka para sahabat Nabi -Shallallahu ‘alaihi
wa sallam- bangkit berlomba-lomba mencari tiang (untuk dijadikan sutroh, pent.)
sehingga Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- keluar (dari rumahnya), sedang
mereka dalam keadaan demikian melaksanakan sholat dua rokaat sebelum maghrib”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya
(599)]
Inilah
sahabat Anas menceritakan tentang para sahabat; bagaimana mereka berebut untuk
shalat dua raka’at sebelum maghrib di hadapan tiang masjid sebagai penghalang
dalam waktu sangat sempit. Jika ada diantara mereka yang tak sempat mendapatkan
tiang atau penghalang lainnya, maka mereka meminta kepada saudaranya agar
membelakang sehingga punggungnya dijadikan sebagai penghalang.
Nafi’
(bekas budak Ibnu Umar) -rahimahullah- berkata,
كَانَ ابْنُ عُمَرَ إِذَا لَمْ يَجِدْ سَبِيْلاً إِلَى سَارِيَةٍ مِنْ سَوَارِي الْمَسْجِدِ قَالَ لِيْ: وَلِّنِيْ ظَهْرَكَ
“Apabila
Ibnu Umar -radhiyallahu anhu- tidak lagi menemukan tiang masjid yang bisa
dijadikan sutroh (penghalang) untuk shalat, maka dia akan berkata kepadaku,
“Hadapkanlah punggungmu di hadapanku.”
[HR. Ibnu Abi Syaibah di dalam Al-Mushannaf (1/250/no. 2878)
dengan sanad yang shohih]
Abdur
Rahman bin Abi Sa’id dari
Bapaknya (Abu Sa’id Al-Khudriy) bahwa,
أَنَّهُ كَانَ يُصَلِّيْ إِلَى سَارِيَةٍ فَذَهَبَ رَجُلٌ مِنْ بَنِيْ أُمَيَّةَ يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْهِ فَمَنَعَهُ فَذَهَبَ لِيَعُوْدَ فَضَرَبَهُ ضَرْبَةً فِيْ صَدْرِهِ
“Dia (Abu
Sa’id Al-Khudriy) pernah sholat menghadap tiang masjid. Lalu mulailah seorang
laki-laki dari Bani Umayyah berusaha lewat di depan beliau. Maka beliau
mencegahnya. Kemudian orang itu kembali (melakukan hal itu), maka beliau
memukul satu kali pada dadanya”.
[HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shohih-nya (817). Di-shohih-kan
oleh Muhammad Mushthofa Al-A'zhomiy]
Yazid
bin Abi Ubaid -rahimahullah-
berkata,
رَأَيْتُهُ يَنْصِبُ أَحْجَارًا فِي الْبَرِّيَّةِ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يُصَلِّيَ صَلَّى إِلَيْهَا
“Aku
melihat beliau (Salamah ibnul Akwa’ -radhiyallahu ‘anhu-) dulu menyusun
batu-batu ketika di padang pasir. Jika beliau hendak mengerjakan shalat, maka
beliau sholat menghadap kepadanya”. [HR.
Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf (1/249/no. 2863)]
Di
dalam atsar (berita yang berasal dari sahabat) ini tidak ada perbedaan, baik
itu di padang pasir maupun di dalam gedung. Lahiriah hadits-hadits yang lalu,
dan perbuatan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, semuanya memperkuat
hukum wajibnya meletakkan sutroh (penghalang) ketika shalat sebagaimana
yang telah ditetapkan oleh Imam Asy-Syaukaniy. [Lihat Nailul Authar (3/6)]
Al-‘Allamah
As-Saffariniy –rahimahullahu-
berkata, “Ketahuilah bahwa sholatnya orang yang mengerjakan sholat
dianjurkan agar menghadap sutroh (penghalang) berdasarkan kesepakatan para
ulama, walaupun ia tidak khawatir ada yang lewat; beda halnya Imam Malik.Dalam Al-Wadhih,
Penulis menyebutkan sutroh secara muthlaq bahwa diwajibkan sutroh
(penghalang) berupa dinding atau sesuatu yang tinggi. Sedang meletakkan sutroh
lebih dicintai oleh Imam Ahmad [Lihat Syarh Tsulatsiyyat Al-Musnad
(3/7860]
Pendapat
yang mutlak lebih benar, sebab alasan yang dikemukakan untuk meletakkan sutroh
(penghalang) dalam shalat, bukan hanya berdasar pada rasio, tanpa dalil.
Pendapat yang menyatakan tak wajibnya sutroh, di dalamnya terdapat
pelanggaran didasari oleh pendapat semata terhadap nas-nas yang mewajibkan
meletakkan sutroh (penghalang) sebagaimana telah berlalu sebagiannya.
Ini tentunya tidak boleh!! Terlebih lagi mungkin yang lewat di hadapan
orang yang sedang shalat bukan hanya jenis makhluk yang kasat mata, tetapi
berupa setan. Perkara itu telah datang secara gamblang dari sabda, dan
perbuatan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- [Lihat Tamamul
Minnah (hal. 304)]
Setelah
menyebutkan hadits-hadits yang menerangkan tentang perintah meletakkan sutroh
(penghalang) ketika shalat, Ibnu Khuzaimah -rahimahullah- berkata, “Semua
hadits-hadits ini berkualitas shahih. Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-
memang telah memerintahkan umatnya agar meletakkan sutroh (penghalang) ketika
shalat… Sungguh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah
mengecam keras orang yang sholat tanpa menghadap sutroh. Bagaimana dilakukan
sesuatu yang beliau -Shollallahu ‘alaihi wasallam- kecam sendiri”. [Lihat Shohih
Ibnu Khuzaimah (2/27)]
Disebutkan
dalam sebagian hadits bahwa Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- sholat
tanpa menghadap sutroh. Namun hadits ini tidak shohih, bahkan lemah
sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Adh-Dho’ifah
(5814). Adapun hadits yang menyebutkan bahwa Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa
sallam- sholat di Mina atau di tempat lainnya, tanpa menghadap
bangunan, maka Syaikh Masyhur bin Hasan Salman -hafizhahullah- berkata
menjawab hal ini, “Tidak adanya bangunan yang bisa dipergunakan sutroh
(penghalang), sama sekali bukan berarti menghalangi Nabi -Shallallahu ‘alaihi
wa sallam- untuk menggunakan sutroh (penghalang) lainnya ketika shalat.
Sungguh telah ada penegasan hal ini di dalam hadits riwayat Ibnu Abbas -radhiyallahu
anhu-”. [Lihat Al-Qoul Al-Mubin (hal. 82)]
Kemudian
Syaikh Masyhur Hasan Salman -hafizhahullah- membawakan hadits dari Ibnu
Abbas -radhiyallahu anhu- dia berkata,
يُصَلِّيْ بِمِنَى إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ
“Rasulullah
-Shallallahu alaihi wa sallam- shalat dengan orang-orang di Mina dalam keadaan
tidak menghadap dinding”.
[HR. Bukhariy dalam Shohih-nya (no. 76, 861, 1857, dan 4412)]
Jangan
dipahami bahwa hadits ini menjelaskan bahwa Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa
sallam- sholat, tanpa menghadap sutroh (penghalang). Bahkan
beliau menghadap sutroh, sebab beliau bukan Cuma menggunakan dinding
sebagai sutroh, tapi beliau juga menggunakan yang lainnya sebagai sutroh
sebagaimana dalam riwayat dari Ibnu Abbas sendiri,
رَكَزْتُ الْعَنَزَةَ بَيْنَ يَدَيِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَفَاتٍ وَصَلَّى إِلَيْهَا وَالْحِمَارُ مِنْ وَرَاءِ الْعَنَزَةِ
“Aku
menancapkan tombak kecil di hadapan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- ,
ketika sedang berada di Arafah dan beliau shalat menghadap kepadanya. Sedangkan
keledai lewat di belakang tombak kecil itu”. [HR. Ahmad dalam Musnad-nya
(1/243) Ibnu Khuzaimah di dalam Ash-Shahih (840). Hadits ini
dikuatkan oleh Syu'aib Al-Arna'uth dalam Takhrij Al-Musnad (2175)]
Al-Imam
At-Turkumaniy -rahimahullah-
berkata, “Tidak adanya dinding tidaklah mengharuskan tidak adanya sutroh
(penghalang) lain”. [Lihat Al-Jauhar An-Naqiy (2/243)]
Jadi,
jelaslah kekeliruan orang yang sholat tanpa ada penghalang di depannya, sekalipun
aman dari orang yang akan lewat di hadapannya ketika shalat, atau ia sedang
berada di tanah lapang; tak ada bedanya antara Makkah dan selainnya dalam
perkara-perkara sutroh (penghalang) secara mutlak. [Lihat Ahkam
As-Sutroh fi Makkah wa Ghoiriha (hal. 42-48)]
Sumber :
almakassari.com, Buletin Jum’at
Al-Atsariyyah. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Jl. Bonto
Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. Pimpinan
Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc.
Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc.
Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham
Al-Atsary (085255974201).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar