Diantara kesalahan sholat yang
banyak tersebar di masyarakat, adanya sebagian orang yang terdiam bisu, tanpa
membaca sesuatu apapun di antara dzikir-dzikir dan bacaan-bacaan dalam sholat,
baik itu berupa takbir, bacaan surat, dzikir ruku’, dzikir sujud, tasyahhud,
dan lainnya. Orang-orang yang semodel ini, hanya mencukupkan diri dengan bacaan
dalam hati; seakan-akan sholat itu hanyalah gerakan belaka, tanpa disertai
ucapan. Parahnya lagi, sampai ada orang yang berpendapat seperti ini menyatakan
bahwa boleh seseorang memulai sholatnya tanpa takbir!! Diantara orang yang
berpendapat demikian adalah Abu Bakr Al-Ashom Al-Mu’taziliy (pengikut aliran
sesat Mu’tazilah), dan Ibrahim bin Isma’il bin Ulayyah Al-Jahmiy [Lihat Bada'iush
Shona'i (1/455 & 2/22) karya Al-Kaasaaniy]
Mereka beralasan bahwa firman Allah,
"Dan Dirikanlah shalat…"(QS. Al-Baqoroh : 43)
Menurut mereka bahwa ayat ini
sifatnya global, dan telah dijelaskan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa
sallam- dengan perbuatannya. Karena itu, Nabi -Shallallahu alaihi wa
sallam- bersabda,
صَلُّوا
كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
"Sholatlah kalian melihat aku
sholat". [HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab
Al-Adzan (631)]
Kata mereka bahwa yang terlihat
adalah perbuatan (gerakan), bukan ucapan. Jadi, sholat itu adalah nama bagi
perbuatan-perbuatan (gerakan) saja!! Oleh karenanya, orang yang berpendapat
demikian menyatakan bahwa kewajiban sholat gugur bagi seseorang yang tidak
mampu melakukan gerakan-gerakan, walaupun ia mampu berdzikir. Jika ia mampu
bergerak, dan hanya berdzikir dalam hati, maka kewajiban sholat tidak gugur
darinya.
Demikian pendapat yang dinyatakan
oleh Abu Bakr Abdur Rahman bin Kaisan Al-Ashom, seorang ahli bid’ah beraliran
Mu’tazilah. Lalu diikuti pendapat ini oleh muridnya, Ibrahim bin Isma’il bin
Ulayyah. Si murid ini juga ahli bid’ah dari kalangan Jahmiyyah.
Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr
Al-Andalusiy -rahimahullah- berkata, "Dia
(Ibrahim bin Isma’il bin Ulayyah) memiliki banyak keganjilan, sedang
pendapat-pendapatnya di sisi Ahlus Sunnah ditinggalkan; tak ada satu
pendapatnya pun yang dianggap khilaf (yakni, tak ada nilainya)".
[Lihat Lisan Al-Mizan (1/15)]
Al-Imam Asy-Syafi’iy -rahimahullah- berkata tentang Ibrahim ini, "Dia
adalah orang yang sesat yang biasa duduk di pintu As-Sawwal untuk menyesatkan
manusia". Asy-Syafi’iy juga berkata, "Saya selalu menyelisihi Ibnu
Ulayyah dalam segala hal". [Lihat Lisan Al-Mizan (1/15)]
Al-Imam Abu Abdillah Adz-Dzahabiy-rahimahullah-
berkata tentang Ibrahim bin Isma’il bin Ulayyah, "Dia adalah seorang
Jahmiyyah (aliran sesat). Orangnya suka berdebat (ahli kalam), dan menyatakan
bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Dia wafat pada tahun 218 H". [Lihat Mizan
Al-I'tidal (1/20)]
Para pembaca yang budiman, pendapat
yang dinyatakan oleh Abu Bakr Al-Ashom dan muridnya yang bernama Ibrahim bin
Isma’il bin Ulayyah bahwa saat sholat seseorang boleh diam, dan tak perlu
mengucapkan sesuatu apapun berupa dzikir dan bacaan; ini adalah pendapat batil,
menyeleneh, dan menyelisihi dalil-dalil syar’iy.
Diantara dalil-dalil yang
membatalkan pendapat dua orang ini adalah firman Allah -Ta’ala-,
"Sesungguhnya Tuhanmu
mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sholat) kurang dari dua pertiga malam, atau
seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari
orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang.
Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas
waktu-waktu itu, maka dia memberi keringanan kepadamu. Karena itu, bacalah apa
yang mudah (bagimu) dari Al Quran".(QS.
Al-Muzzammil : 20)
Ayat ini turun berkaitan dengan
sholat, sedang bacaan disini sifatnya muthlaq (global), mencakup semua bacaan,
baik itu Al-Fatihah, maupun bacaan nafilah setelahnya. Namun ayat ini tentunya
telah dijelaskan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bahwa yang
dimaksud adalah wajib membaca Al-Fatihah, dan selebihnya adalah nafilah
(mustahab). Oleh karenanya, beliau bersabda,
لاَ
صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
"Tak sholat bagi orang yang
tidak membaca Fatihatul Kitab".
[HR. Al-Bukhoriy (756), Muslim (872)]
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolaniy -rahimahullah- berkata usai menjelaskan wajibnya
membaca AL-Fatihah, "Jika hal itu telah nyata, maka keherananku tak
pernah berhenti terhadap orang yang sengaja tidak membaca Surat Al-Fatihah dari
kalangan mereka, dan tak melakukan tuma’ninah. Akhirnya, ia pun melakukan suatu
sholat yang ia mau mendekatkan diri kepada Allah -Ta’ala- dengannya, sedang ia
sengaja melakukan dosa (yakni, tidak membaca Al-Fatihah) di dalamnya karena
berlebihan dalam mewujudkan penyelisihan terhadap madzhab yang lain".
[Lihat Fathul Bari(2/313-314)]
Andaikan membaca dan berdzikir dalam
hati adalah perkara yang mencukupi dalam sholat –dan itu mustahil-, maka
tentunya Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- tak akan bersabda kepada
orang yang tidak becus melakukan sholatnya,
ثُمَّ
اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ
"Kemudian bacalah sesuatu yang
mudah padamu berupa Al-Qur’an". [HR.
Al-Bukhoriy dalam Kitab Al-Adzan (757), dan Muslim dalam Kitab
Ash-Sholah (883)]
Sebab yang disebut dengan qiro’ah
(bacaan) bukan ucapan hati. Diantara konsekuensi qiro’ah (bacaan) menurut
bahasa dan syara’ adalah menggerakkan lisan ( تحريك اللسان ) sebagaimana hal ini telah dimaklumi. Contohnya, firman
Allah -Ta’ala-,
"Janganlah kamu gerakkan
lidahmu untuk (membaca) Al Quran, karena hendak cepat-cepat
(menguasai)nya" (QS.
Al-Qiyamah : 16).
Nabi -Shallallahu alaihi wa
sallam- dilarang oleh Allah menirukan bacaan Jibril –‘alaihi salam-
kalimat demi kalimat, sebelum Jibril selesai membacakannya, agar nabi Muhammad
-Shallallahu alaihi wa sallam- dapat menghafal dan memahami betul-betul
ayat yang diturunkan itu.
Jadi, qiro’ah bukanlah ucapan
hati, bahkan ucapan lisan. Oleh karena itu, para ulama yang melarang orang
junub untuk membaca Al-Qur’an, mereka menetapkan bolehnya membaca ayat-ayat
dalam hati, sebab ucapan dalam hati bukanlah qiro’ah (bacaan) yang terlarang,
dan memang beda. [Lihat Al-Qoul Al-Mubin (hal.98) oleh Syaikh
Masyhur bin Hasan Alu Salman, cet. Dar Ibn Al-Qoyyim & Dar Ibn Affan, 1416
H]
Al-Imam An-Nawawiy -rahimahullah-
berkata, "Boleh bagi mereka (orang junub, wanita haidh dan nifas) untuk
menyiratkan Al-Qur’an dalam hati, tanpa dilafazhkan; demikian pula melihat
mushhaf , dan membacanya dalam hati". [Lihat Al-Adzkar
(hal. 13-14) oleh An-Nawawiy, dengan tahqiq Ishomuddin Adh-Dhobabithiy,
cet. Dar al-Hadits, 1424 H]
Seorang ulama Andalusia, Al-Qodhi
Muhammad Ibn Rusyd pernah berkata, "Adapun bacaan seseorang dalam
hatinya, namun ia tidak menggerakkan lisannya, bukanlah qiro”ah (bacaan)
berdasarkan pendapat yang benar, karena bacaan itu hanyalah ucapan dengan
menggunakan lisan. Nah, itulah yang diberi balasan. Dalil tentang hal itu
adalah firman Allah -Azza wa Jalla-,
"Dia mendapat pahala (dari
kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya". (QS. Al-Baqoroh : 286)
Dalilnya juga adalah sabda Nabi -Shallallahu
alaihi wa sallam-,
تَجَاوَزَ
اللَّهُ لِأُمَّتِي مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسُهَا
"Allah memaafkan bagi umatku
sesuatu yang diucapkan oleh hati mereka". [HR. Al-Bukhoriy (5269), Muslim (), Abu Dawud (2209),
At-Tirmidziy (1183), An-Nasa'iy (3434) dan Ibnu Majah (2040). Lihat Irwa'
Al-Gholil (2062)]
Sebagaimana halnya seorang tidak
dihukum dengan sebab sesuatu yang diucapkan oleh hatinya berupa kejelekan, dan
itu tidak memudhoroti dirinya, maka demikian pula ia tidak diberi balasan atas
sesuatu yang diucapkan oleh hatinya berupa qiro’aah, dan kebaikan. Balasan yang
diberikan hanyalah berdasarkan gerakan lisan ketika membaca, dan melakukan
kebaikan". [Lihat Al-Bayan wa At-Tahshil
(1/491)]
Diantara dalil yang paling kuat
tentang wajibnya membaca dzikir dan qiro’ah dengan lisan dalam sholat, bukan
hanya sekedar ucapan hati, yaitu hadits seorang yang tidak becus melakukan
sholatnya ketika Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda kepadanya,
إِذَا
قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنْ
الْقُرْآنِ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى
تَعْدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ
حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا وَافْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا
"Jika engkau bangkit
melaksanakan sholat, maka bertakbirlah, lalu bacalah sesuatu yang mudah bagimu
berupa Al-Qur’an. Kemudian rukuklah sampai tuma’ninah dalam posisi rukuk.
Kemudian bangkitlan sampai tegak dalam posisi berdiri. Lalu sujudlah sampai
tuma’ninah dalam keadaan sujud. Kemudian bangkitlah sampai tuma’ninah dalam
keadaan duduk. Lakukanlah hal itu dalam seluruh sholatmu". [HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab Al-Adzan (757),
dan Muslim dalam Kitab Ash-Sholah (883)]
Hadits ini menjelaskan bahwa
diantara rukun sholat adalah bertakbir dan membaca Al-Fatihah pada setiap
raka’at, sedang kedua rukun ini adalah rukun yang berkaitan dengan ucapan dan
bacaan. Jadi, barangsiapa yang tidak membaca dan mengucapkannya dalam sholat,
maka sholatnya batal!!! Jika ia terus melakukannya, maka ia berdosa.
Ini bagi orang yang mampu membaca
Al-Fatihah. Jika tidak mampu membaca Al-Fatihah setelah ia berusaha sekuat
tenaga untuk menghafalnya, namun ia tak mampu juga karena suatu penyakit atau
buta huruf, dan lainnya, maka Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- tetap
memberikan bimbingan agar ia membaca dzikir berikut ini:
Dari sahabat Ibnu Abi Aufa -radhiyallahu
anhu- berkata,
عَنْ
ابْنِ أَبِي أَوْفَى قَالَ:جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي لَا أَسْتَطِيعُ أَنْ آخُذَ شَيْئًا مِنْ الْقُرْآنِ
فَعَلِّمْنِي شَيْئًا يُجْزِئُنِي مِنْ الْقُرْآنِ فَقَالَ قُلْ سُبْحَانَ اللَّهِ
وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ وَلاَ حَوْلَ
وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ
"Seseorang pernah datang kepada
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- seraya berkata, "Sesungguhnya aku
tidak mampu menghafal sesuatupun dari AL-Qur’an. Karenanya, ajarilah aku
sesuatu yang mencukupi aku dari Al-Qur’an". Nabi -Shallallahu alaihi wa
sallam- bersabda, "Bacalah:
سُبْحَانَ
اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ
وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ
(Maha suci Allah, dan segala puji
bagi Allah; Tiada sembahan yang, kecuali Allah; Allah Maha besar; Tiada daya
dan upaya, kecuali pada Allah)".
[HR. Abu Dawud (832) dan An-Nasa'iy (923). Di-hasan-kan oleh Syaikh
Al-Albaniy dalam Al-Irwa' (303)]
Para pembaca yang budiman,
perhatikan ketika Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- memberikan ganti
bacaan Al-Fatihah dengan dzikir tersebut, maka gantinyapun dengan dzikir
qouliy (dzikir ucapan dengan menggunakan lisan). Semua ini menunjukkan
kepada kita tentang batilnya pendapat Abu Bakr Al-Ashom dan Ibrahim bin Isma’il
bin Ulayyah. Ini juga menghancurkan paham dan pemikiran menyimpang yang
pernah dicetuskan oleh kaum shufiyyah alias tarekat bahwa sholat tidak perlu
melakukan gerakan-gerakan dan membaca dzikir dan lainnya dalam sholat. Menurut
mereka bahwa sholat itu cukup dzikir dalam hati. Subhanallah, jelas ini
batil berdasarkan dalil-dalil di atas. Walilllahil hamdu walminnah.
Ringkasnya , sholat haruslah disertai ucapan dan gerakan perbuatan
yang telah dijelaskan oleh Teladan kita, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-
dalam hadits-hadits yang shohih dari beliau. Tidak boleh sholat itu hanya
sekedar bacaan atau dzikir dalam hati!!
Sumber : almakassari.com, Buletin Jum’at At-Tauhid edisi 123 Tahun II. Penerbit :
Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec.
Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah).
Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al
Atsary, Lc. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc.
Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham
Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar