Wudhu’
merupakan ibadah yang rutin dikerjakan oleh kaum muslimin saat hendak melakukan
sholat, thowaf , tidur atau membaca Al-Qur’an, dan lainnya. Walaupun ibadah
wudhu’ ini sering kita kerjakan, namun masih banyak diantara kita yang keliru
dan salah sangka tentang hal-hal yang berkaitan dengannya.
Diantara
perkara yang disalah pahami oleh mereka, yaitu pembatal-pembatal wudhu’.
Terkadang mereka menyangka suatu perkara membatalkan wudhu’, tapi ternyata
tidaklah membatalkan wudhu, seperti perkara-perkara berikut:
1. Menyentuh
Wanita
Menyentuh
wanita, perkara yang sering disangka oleh sebagian orang sebagai pembatal
wudhu’, sehingga ada diantara mereka yang kesusahan mengulang-ulangi wudhu’,
karena hanya sekedar dengan ibunya, adik putrinya, bahkan istrinya.
Banyak diterangkan
dalam hadits-hadits shohih bahwa Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- terkadang
menyentuh istrinya saat usai wudhu’, bahkan di tengah sholatnya.
A’isyah
-radhiyallahu anha- berkata,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَبَّلَهَا وَلَمْ يَتَوَضَّأ
“Bahwa
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- menciumnya, namun beliau tidak berwudhu’”. [HR. Abu Dawud ().
Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh
Al-Albaniy dalam Shohih Sunan Abi Dawud ()]
A’isyah
-radhiyallahu anha- berkata,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَبَّلَ بَعْضَ نِسَائِهِ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ وَلَمْ
يَتَوَضَّأْ
“Bahwa
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah mencium sebagian istri-istri beliau,
lalu beliau keluar menuju sholat, namun beliau tidak berwudhu’ lagi”. [HR. Abu Dawud (),
At-Tirmidziy, An-Nasa'iy, dan Ibnu Majah (). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh
Al-Albaniy dalam Al-Misykah (no. 323)]
2. Keluarnya
Darah karena luka, bekam, dan sejenisnya
Keluarnya
darah –karena luka, berbekam, dan lainnya- bukanlah perkara yang membatalkan
wudhu’. Perkara ini telah kami jelaskan saat membahas tentang perkara-perkara
yang dianggap najis, ternyata bukan najis
Jabir bin Abdillah Al-Anshoriy -radhiyallahu
‘anhu-
berkata,
خَرَجْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -يَعْنِيْ فِيْ غَزْوَةِ ذَاتِ الرِّقَاعِ- فَأَصَابَ رَجُلٌ
امْرَأَةَ رَجُلٍ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ فَحَلَفَ: أَنْ لاَ أَنْتَهِيَ حَتَّى
أُهْرِيْقَ دَمًا فِيْ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ, فَخَرَجَ يَتْبَعُ أَثَرَ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, فَنَزَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَنْزِلاً فَقَالَ: مَنْ رَجُلٌ يَكْلَؤُنَا؟ فَانْتَدَبَ رَجُلٌ مِنَ
الْمُهَاجِرِيْنَ وَرَجُلٌ مِنَ اْلأَنْصَارِ, فَقَالَ: كُوْنَا بِفَمِ الشِّعْبِ.
قال: فَلَمَّا خَرَجَ الرَّجُلاَنِ إِلَى فَمِ الشِّعْبِ اضْطَجَعَ
الْمُهَاجِرِيُّ وَقَامَ اْلأَنْصَارِيُّ يُصَلِّيْ وَأَتَى الرَّجُلُ فَلَمَّا
رَأَى شَخْصَهُ عَرَفَ أَنَّهُ رَبِيْئَةٌ لِلْقَوْمِ فَرَمَاهُ
بِسَهْمٍ فَوَضَعَهُ فِيْهِ فَنَزَعَهُ حَتَّى رَمَاهُ بِثَلاَثَةِ أَسْهُمٍ ثُمَّ
رَكَعَ وَسَجَدَ ثُمَّ انْتَبَهَ صَاحِبُهُ, فَلَمَّا عَرَفَ أَنَّهُمْ قَدْ
نَذَرُوْا بِهِ هَرَبَ, فَلَمَّا رَأَى الْمُهَاجِرِيُّ مَا
بِاْلأَنْصَارِيِّ مِنَ الدَّمِ قَالَ: سُبْحَانَ اللهِ أَلاَ أَنْبَهْتَنِيْ
أَوَّلَ مَا رَمَى, قال: كُنْتُ فِيْ سُوْرَةٍ أَقْرَؤُهَا فَلَمْ أُحِبَّ أَنْ
أَقْطَعَهَا
.
“Kami pernah keluar bersama Rasulullah
-Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, yakni waktu Perang Dzatur Riqo. Maka ada
seorang sahabat yang membunuh istri seorang musyrikin. Kemudian sang suami
bersumpah, “Aku tidak akan berhenti (melawan) sampai aku menumpahkan darah
sebagian sahabat-sahabat Muhammad”. Maka ia pun keluar mengikuti jejak Nabi -Shallallahu
‘alaihi wa sallam-. Lalu Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- (waktu itu) berhenti pada suatu tempat seraya
bersabda, “Siapakah yang mau menjaga kita?. Maka bangkitlah seorang laki-laki
dari kalangan Muhajirin, dan seorang dari kalangan Anshor. Nabi -Shallallahu
‘alaihi wa sallam- bersabda, “Tetaplah kalian di mulut (gerbang) lembah.
Tatkala dua orang itu keluar ke mulut lembah, maka berbaringlah laki-laki
muhajirin itu, sedang laki-laki Anshor berdiri melaksanakan sholat. Kemudian
datanglah orang musyrik tersebut. Tatkala ia melihat sosok tubuhnya sang
Anshor, maka si musyrik tahu bahwa sang Anshor adalah penjaga pasukan. Kemudian
si musyrik pun membidiknya dengan panah, dan mengenai sasaran dengan tepat.
Sang Anshor mencabut anak panah itu sampai ia dibidik dengan 3 anak panah,
lalu bersujud. Kemudian temannya (sang
Muhajirin) tersadar. Tatkala si musyrik tahu bahwa mereka telah mencium
keberadaannya, maka ia pun lari. Ketika sang Muhajirin melihat darah pada tubuh
sahabat Anshor, maka ia berkata, “Subhanallah, Kenapa engkau tidak mengingatkan
aku awal kali ia memanah?” Sang Anshor menjawab, “Aku sedang berada dalam
sebuah surat yang sedang kubaca. Maka
aku tidak senang jika aku memutuskannya”.[HR. Abu Dawud dalam As-Sunan (198). Hadits ini di-hasan-kan oleh Syaikh
Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (1/1/606)]
Al-Allamah Abu
Ath-Thoyyib Syamsul Haq Al-Azhim Abadiy -rahimahullah- berkata dalam Aunul
Ma’bud
(1/231-232), “Hadits ini menunjukkan dengan jelas
tentang dua perkara. Pertama, keluarnya darah dari selain dua lubang
(dubur & kemaluan) tidaklah membatalkan wudhu’, baik ia mengalir atau
tidak. Itu adalah pendapat kebanyakan ulama’, sedang itulah yang benar…Kedua,
darah luka adalah suci, dimaafkan bagi orang yang terluka. Ini adalah madzhab
Malikiyyah, sedang inilah pendapat yang benar. Hadits-hadits telah datang
secara mutawatir bahwa para mujahidin fi sabilillah mereka dahulu berjihad, dan
merasakan sakitnya luka-luka lebih dari yang tergambar. tidak seorang yang bisa
mengingkari adanya aliran darah dari luka-luka mereka, dan terlumurinya pakaian
mereka. Sekalipun demikian, mereka tetap sholat dalam kondisi begini, dan tidak
ternukil (suatu hadits) dari Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bahwa
beliau memerintahkan mereka untuk melepas baju mereka yang berlumuran darah
dalam kondisi sholat. Sungguh Sa’d -radhiyallahu ‘anhu- telah terkena musibah
pada waktu perang Khondaq. Kemudian dibuatkan kemah baginya dalam masjid. Jadi,
ia berada dalam masjid, sedang darahnya mengalir dalam masjid. Senantiasa
darahnya mengalir sampai ia meninggal”.
Diantara dalil yang menunjukkan bahwa
darah luka bukan najis, atsar tentang kondisi Umar bin Al-Khoththob -radhiyallahu
‘anhu-
saat menjelang wafat.
Al-Miswar bin
Makhromah
-radhiyallahu ‘anhu- berkata,
دَخَلْتُ أَنَا وَابْنُ عَبَّاسٍ عَلىَ عُمَرَ
حِيْنَ طُعِنَ, فَقُلْنَا: الصَّلاَةَ, فَقَالَ: إِنَّهُ لاَ حَظَّ لأَحَدٍ فِي
اْلإِسْلاَمِ أَضَاعَ الصَّلاَةَ فَصَلَّى وَجُرْحُهُ يَثْعَبُ دَمًا
“Aku pernah masuk masuk bersama Ibnu
Abbas menemui Umar ketika beliau ditikam. Maka kami berkata, “Waktu sholat
telah tiba”. Umar berkata, “Sesungguhnya tidak ada bagian dalam Islam untuk
orang yang menyia-nyiakan sholat”. Maka beliau sholat, sedang lukanya
mengucurkan darah”.
[HR. Abdur Rozzaq dalam Al-Mushonnaf (579), Ad-Daruquthniy
dalam As-Sunan (1), dan Ibnu Abi
Syaibah dalam Al-Mushonnaf (37067) dengan sanad yang shohih]
Sudah dimaklumi bahwa luka yang
mengalir pasti akan melumuri pakaian, dan mustahil Umar -radhiyallahu
‘anhu-
melakukan sesuatu yang tidak boleh menurut syari’at, lalu para sahabat
mendiamkan hal itu, tanpa ada pengingkaran. Ini tiada lain, kecuali karena
sucinya darah yang keluar pada luka. [Lihat Aunul
Ma'bud
(1/232)]
Qotadah bin
Di’amah As-Sadusiy
-rahimahullah- berkata,
إِذَا رَعَفَ اْلاِنْسَانُ فَلَمْ يَقْلَعْ
فَإِنَّهُ يَسُدُّ مِنْخَرَهُ وَيُصَلِّيْ وَإِنْ خَافَ أَنْ يَدْخُلَ جَوْفَه
فَلْيُصَلِّ وَإِنْ سَالَ فَإِنَّ عُمَرَ قَدْ صَلَّى وَجُرْحُهُ يَثْعَبُ دَمًا
“Jika seorang mimisan, lalu belum
berhenti, maka ia menutup hidungnya, dan sholat. Jika ia khawatir kalau
darahnya masuk ke dalam rongga tubuhnya, maka hendaknya ia (tetap) sholat,
walaupun darahnya mengalir, karena Umar sungguh telah sholat, sedang ia
mengucurkan darah”. [HR.
Abdur Rozzaq dalam Al-Mushonnaf (574)]
3. Muntah
Manusia
Muntah
yang kita keluarkan juga bukan najis, karena tidak ada dalil yang menjelaskan
bahwa ia adalah najis. Sedangkan hukum asalnya sesuatu adalah suci.
Ahli Fiqih Negeri
Syam, Syaikh Al-Albaniy -rahimahullah- berkata dalam
kitabnya Tamamul Minnah (hal.53) saat
membantah Sayyid Sabiq, “Penulis (Sayyid Sabiq) tidak
menyebutkan dalil tentang hal itu (yakni, najisnya muntah), kecuali ucapannya
yang berbunyi, “disepakati kenajisannya”. Ini adalah pengakuan yang
terbatalkan. Sungguh Ibnu Hazm telah menyelisihi dalam hal itu ketika beliau
menyatakan sucinya muntah seorang muslim. Silakan rujuk Al-Muhalla
(1/183). Ini adalah madzhab Al-Imam Asy-Syaukaniy dalam Ad-Duror Al-Bahiyyah,
dan Siddiq Hasan Khan dalam syarahnya terhadap kitab ini (1/18-20)
ketika keduanya tidak menyebutkan muntah manusia dalam golongan najis secara
muthlaq. Inilah pendapat yang benar”.
Jadi, muntah manusia bukanlah najis
yang membatalkan sholat atau wudhu’ kita, sebab tidak ada dalil yang jelas menunjukkan
kenajisannya. Andai ada, maka akan dinukil oleh para ulama’.
4. Ragu
tentang Kenajisan Dirinya
Jika seseorang telah berwudhu’, lalu ia
ragu tentang kenajisan dirinya, apakah wudhu’nya batal atau tidak, maka orang
yang seperti ini dianggap wudhu’nya tidak batal. Kejadian semisal ini sering
terjadi pada orang yang terkena was-was, apakah ia kentut atau tidak; apakah
kencingnya menetes atau tidak?
Orang yang ragu atau terkena was-was
tersebut, perlu mengikuti hadits berikut dari Abbad bin Tamim dari pamannya
(Abdullah bin Zaid bin Ashim Al-Anshoriy) bahwa ia mengadu kepada Rasulullah -Shallallahu
alaihi wa sallam-
tentang seseorang yang berkhayal merasakan sesuatu (kentut) dalam sholatnya.
Beliau bersabda,
لَا يَنْفَتِلْ أَوْ لَا يَنْصَرِفْ حَتَّى
يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
“Janganlah ia berpaling (keluar dari
sholatnya) sampai ia mendengarkan suara atau mencium baunya”. [HR. Al-Bukhoriy
(no. 137), dan Muslim (1361)]
Al-Imam An-Nawawiy -rahimahullah- berkata, “Hadits
ini adalah dasar (dalil) tentang hukum tetapnya perkara di atas asalnya sampai
yakin tentang hukum yang menyelisihinya. Keraguan yang hinggap pada
perkara-perkara itu tidaklah membahayakannya. Hadits ini telah dipegangi oleh
jumhur ulama’”.
[Lihat Al-Fath (1/220)]
5. Berbicara saat
Wudhu’
Berbicara saat wudhu’ juga tidak membatalkan shalat karna tidak ada
riwayat yang shohih dari Rasulullah mengenai hal tersebut. Wallahu a’lam.
Jika seseorang
terkena penyakit was-was dalam sholatnya atau di luar sholatnya, ia ragu apakah
kencingnya menetes atau tidak, maka hendaknya ia jangan membatalkan sholatnya,
dan meyakini bahwa yang ia sangka keluar bukan kencing, tapi sisa air yang ia
pakai cebok. Insya Allah, was-wasnya akan hilang.
Inilah beberapa
perkara yang sering menjadi kendala dan ganjalan bagi sebagian orang saat ia
melakukan wudhu’;
ia bingung saat mendapatinya, apakah membatalkan wudhu’ atau tidak. Nah dengan
penjelasan di atas, semoga bisa mengobati keraguan dan ganjalan hati tersebut.
Para pembaca yang
budiman, sebenarnya disana masih ada beberapa perkara yang dianggap oleh
sebagian orang sebagai perkara yang membatalkan wudhu’, tapi ternyata tidak,
seperti muntah, keringat, menyentuh tahi ayam, tahi sapi, atau menyentuh najis,
walaupun ia telah mencucinya, dan lain-lainnya.
Sumber : Buletin Jum’at At-Tauhid. Penerbit : Pustaka Ibnu
Abbas. Alamat : Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto
Marannu, Gowa-Sulsel. Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu
Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah
Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk
berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar