Ada sebuah fenomena yang jarang
mendapatkan sorotan oleh kebanyakan orang, karena ada beberapa sebab yang
melatarbelakanginya, di antaranya adalah faktor taqlid, jahil terhadap agama,
banyaknya orang yang melakukannya sehingga sudah menjadi sebuah adat yang
mendarah-daging, sulit dihilangkan, kecuali jika Allah menghendakinya. Sehingga
terkadang menjadi sebab perselisihan, perseteruan dan permusuhan di kalangan
kaum muslimin sendiri. Di antara fenomena tersebut, tersebarnya kebiasaan “melafazhkan
niat”ketika hendak melaksanakan ibadah, utamanya shalat.
- Definisi Niat
Kalau kita membuka kitab-kitab kamus
berbahasa arab, maka kita akan jumpai ulama bahasa akan memberikan definisi
tertentu bagi niat.
Ibnu Manzhur -rahimahullah-
berkata, “Meniatkan sesuatu artinya memaksudkannya dan meyakininya. Sedang
niat adalah arah yang dituju”. [Lihat dalam Lisan Al-Arab (15/347)]
Imam Ibnu Manzhur-rahimahullah- juga
berkata, “Jadi niat itu merupakan amalan hati yang bisa berguna bagi orang
yang berniat, sekalipun ia tidak mengerjakan amalan itu. Sedang penunaian
amalan tidak berguna baginya tanpa adanya niat. Inilah makna ucapannya:Niat
seseorang lebih baik daripada amalannya”. [Lihat Lisan Al-Arab
(15/349)]
Dari ucapan ulama bahasa ini, bisa
kita simpulkan bahwa niat adalah maksud dan keinginan seseorang untuk melakukan
suatu amalan dan pekerjaan. Jadi niat itu merupakan amalan hati.
- Hakekat Madzhab Syafi’iyyah dalam Masalah ini
Banyak orang di negeri kita, ketika
mereka diberitahu bahwa melafazhkan niat saat kalian ingin berwudhu’ atau
shalat tak ada sunnah dan contohnya, karena tak pernah dilakukan oleh Nabi -Shollallahu
‘alaihi wasallam- dan para sahabatnya. Serta-merta mereka marah dan
beralasan: “Siapa yang mengatakan tidak ada contohnya? Inikan madzhab
Syafi’iy !!”
Alasan ini tidaklah berdasar, karena
ada dua hal berikut ini :
Pertama , Madzhab tidaklah bisa dikatakan contoh atau dijadikan
dalil, sebab dalil menurut para ulama adalah Al-Qur’an, Sunnah dan ijma’.
Kedua , madzhab Syafi’iy justru sebaliknya menyatakan bahwa niat
itu tempatnya di hati, tak perlu dilafazhkan. Betul ada sebegian kecil di antara
Syafi’iyyah yang berpendapat demikian, namun ini bukan pendapat madzhab, dan
mayoritas, bahkan minoritas. Selain itu, pendapat yang ditegaskan oleh sebagian
kecil dari pengikut madzhab Asy-Syafi’iy dalam masalah ini telah disanggah
sendiri oleh Imam An-Nawawy, sebagaimana telah kami sebutkan tadi. Maka
kelirulah orang yang menyatakan bahwa “bolehnya melafazhkan niat” merupakan
madzhab Asy-Syafi’iy dan pengikutnya.
Mengeraskan dan melafazhkan niat
bukanlah termasuk sunnah Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, dan
tidak wajib menurut empat ulama madzhab baik dalam wudhu’, shalat, shaum
(puasa) maupun ibadah lainnya, bahkan merupakan perkara baru yang diada-adakan
oleh sebagian orang-orang belakangan.
Seorang Ulama dari kalangan madzhab
Asy-Syafi’iyyah, Qodhi Abu Ar-Robi’ Sulaiman bin Umar Asy-Syafi’i -rahimahullah-
berkata, “Mengeraskan niat dan bacaan di belakang imam bukan termasuk
sunnah, bahkan makruh. Jika lantarannya terjadi gangguan terhadap orang-orang
yang sedang shalat, maka itu haram! Barangsiapa yang menyatakan bahwa
mengeraskan niat termasuk sunnah, maka ia keliru, tidak halal baginya dan
selain dirinya untuk menyatakan sesuatu dalam agama Allah tanpa ilmu”.
Syaikh Ala’uddin Ibnul Aththar, dari kalangan madzhab Asy-Syafi’i -rahimahullah-
berkata, “Mengeraskan suara ketika berniat disertai gangguan terhadap
orang-orang yang sedang shalat merupakan perkara haram menurut ijma’. Jika
tidak disertai gangguan, maka ia adalah bid’ah yang jelek. Jika ia maksudkan
riya’ dengannya, maka ia haram dari dua sisi, termasuk dosa besar. Orang yang
mengingkari seseorang yang berpendapat itu sunnah, orangnya benar. Sedangkan
orang yang membenarkannya keliru. Menisbahkan hal itu kepada agama Allah karena
ia yakin itu agama, merupakan kekufuran. Tanpa meyakini itu agama, (maka
penisbahan itu) adalah maksiat. Wajib bagi orang mukmin yang mampu untuk
melarangnya dengan keras, mencegah dan menghalanginya. Perkara ini tidaklah
pernah dinukil dari Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- , seorang
sahabatnya, dan tidak pula dari kalangan ulama kaum muslimin yang bisa
dijadikan teladan”. [Lihat Majmu’Ar-Rosa’il Al-Kubro (1/254-257)]
Imam Jalaluddin Abdur Rahman bin Abu
Bakr As-Suyuthy -rahimahullah- , seorang ulama bermadzhab Syafi’iyyah berkata, “Diantara
jenis-jenis bid’ah juga adalah berbisik-bisik ketika berniat shalat. Itu
bukanlah termasuk perbuatan Nabis -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dan para
sahabatnya. Mereka tidaklah pernah mengucapkan niat shalat, selain takbir.
Allah -Ta’ala- berfirman,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ
اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
“Sungguh pada diri Rasulullah ada
contoh yang baik bagi kalian”. (QS.
Al-Ahzab: 21)
Asy-Syafi’iy -radhiyallahu ‘anhu- berkata, “Berbisik-bisik ketika
berniat shalat, bersuci termasuk bentuk kejahilan terhadap syari’at, dan
kerusakan dalam berpikir”. [Lihat Al-Amr
bil Ittiba’ wa An-Nahyu an Al-Ibtida’ (hal. ......)]
Syaikh Abu Ishaq Asy-Syairozy-rahimahullah-,
seorang pembesar madzhab Syafi’iyyah berkata, “Kemudian ia berniat. Berniat
termasuk fardhu-fardhu shalat karena berdasarkan sabda Nabi, [“Sesugguhnya
amalan itu tergantung niatnya dan bagi setiap orang apa yang ia niatkan”.], dan
karena ia juga merupakan ibadah murni (mahdhoh). Maka tidak sah tanpa disertai niat
seperti puasa. Sedang tempatnya niat itu adalah di hati. Jika ia berniat dengan
hatinya, tanpa lisannya, niscaya cukup. Di antara sahabat kami ada yang
berkata, [“Dia berniat dengan hatinya, dan melafazhkan (niat) dengan lisan”.]
Pendapat ini tak ada nilainya karena niat itu adalah menginginkan sesuatu
dengan hati”. [Lihat Al-Muhadzdzab (3/168-bersama Al-Majmu’)
karya Asy-Syairazy -rahimahullah-]
Imam An-Nawawy -rahimahullah- berkata
ketika menukil pendapat orang-orang bermadzhab Syafi’i yang membantah ucapan
Abu Abdillah Az-Zubairy di atas, “Para sahabat kami -yakni orang-orang
madzhab Syafi’iyyah- berkata, [“Orang yang berpendapat demikian telah keliru.
Bukanlah maksud Asy-Syafi’i dengan “mengucapkan” dalam shalat adalah ini
(bukan melafazhkan niat). Bahkan maksudnya adalah (mengucapkan ) takbir”. ]”.
[Lihat Al-Majmu (3/168)]
- Awal Shalat adalah Takbir, Bukan Melafazhkan niat.
Takbir merupakan awal gerakan dan
perbuatan yang dilakukan dalam shalat, tapi tentunya didahului adanya niat,
maksud dan keinginan untuk shalat, tanpa melafazhkan niat karena niat merupakan
pekerjaan hati. Kalau niat dilafazhkan, maka tidak lagi disebut “niat”, tapi
disebut “an-nuthq” atau “at-talaffuzh”, artinya
“mengucapkan”. Semoga dipahami, ini penting !!
Banyak sekali dalil-dalil yang
menunjukkan takbir merupakan awal gerakan shalat, tanpa didahului melafazhkan
dan mengeraskan niat. Diantara dalil-dalil tersebut:
Dari Ummul Mu’minin A’isyah
Rodhiyallahu anha berkata:
كاَنَ رَسُوْلُ اللهِ -صلى الله عليه
وسلم- يَسْتَفْتِحُ الصَلاَةَ بِالتَكْبِيْرِ
“Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi
wasallam- membuka shalatnya dengan takbir”
.[HR. Muslim dalam Ash-Shahih (498)]
Hadits ini menunjukkan bahwa beliau
membuka shalatnya dengan melafazhkan takbir, bukan melafazhkan niat atau
sejenisnya yang biasa dilakukan oleh sebagian orang yang tidak paham agama,
seperti melafazhkan ta’awwudz, basmalah atau dzikir yang
berbunyi, “ilaika anta maqshudi waridhaka anta mathlubi”
(artinya, “Tujuanku hanyalah kepada-Mu, dan ridha-Mu yang aku cari”).
Dari sini kita mengetahui dan
memastikan bahwa melafazhkan dan menjaharkan niat tak ada tuntunannya dari
Nabi. Maka alangkah benarnya apa yang ditegaskan oleh Syaikh Ahmad bin Abdul
Halim Al-Harroniy-rahimahullah- ketika beliau berkata, “Andaikan
seorang di antara mereka hidup seumur Nuh -‘alaihis salam– untuk memeriksa:
apakah Rasulullah atau salah seorang sahabatnya pernah melakukan hal itu,
niscaya ia tak akan mendapatkannya, kecuali ia terang-terangan dusta. Andaikan
dalam hal ini ada kebaikannya, niscaya mereka akan mendahului dan menunujuki
kita”. [Lihat Lihat Mawarid Al-Aman (hal. 221)]
Ringkasnya, melafazhkan dan
mengeraskan niat merupakan perkara baru dan bid’ah yang tak ada dasarnya dalam
Islam. Jika seseorang mengamalkannya, dia telah menyelisihi petunjuk Nabi -Shollallahu
‘alaihi wasallam- yang tidak pernah mengajarkan perkara itu kepada
sahabatnya, dan akhir dari pada amalan orang ini sebagaimana yang disabdakan
oleh Nabi
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِناَ هَذَا
مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengadakan suatu
perkara (baru) dalam urusan (agama) kami ini yang bukan termasuk darinya,maka
perkara itu tertolak”.
[HR.Al-Bukhary dalam Ash-Shahih (2697)]
Al-Imam Abu Zakariya An-Nawawiy -rahimahullah- berkata
dalam Al-Minhaj (12/16), “Hadits ini merupakan sebuah kaedah
agung di antara kaedah-kaedah Islam. Hadits termasuk jawami’ al-kalim (ucapan
ringkas, tapi padat maknanya) dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, karena
ia gamblang dalam menolak segala perbuatan bid’ah, dan sesuatu yang
diada-adakan”.
Ibnu Daqiq Al-Ied-rahimahullah-
dalam Syarah Al-Arba`in An-Nawawiyah (hal.43), “Hadits ini
merupakan kaidah yang sangat agung di antara kaidah-kaidah agama. Dia termasuk “Jawami’
Al-Kalim” (ucapan ringkas, tapi padat maknanya) yang diberikan kepada
Al-Mushthofa -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, karena hadits ini jelas sekali
dalam menolak segala bentuk bid`ah dan perkara-perkara baru”.
Di antara perkara baru dan bid’ah
yang tertolak amalannya adalah melafazhkan niat dan sejenisnya. [Lihat Al-Ibda’
fi Madhoor Al-Ibtida’ (hal. 256-257) oleh Syaikh Ali Mahfuzh, As-Sunan
Wa Al-Mubtada’at (hal. 45) oleh Syaikh Muhammad bin Ahmad Asy-Syuqoiry,
Al-Bida’ wa Al-Muhdatsat wa Ma La Ashla Lahu (hal. 497-498 &
635), Fatawa Islamiyyah (1/315) oleh Syaikh Ibnu Baz, Tashhih
Ad-Du’a (hal. 317-318) oleh Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid, dan As-Sunan
Al-Mubtada’at fi Al-Ibadat (hal. 32-36) oleh Amer Abdul Mun’im Salim -rahimahumullah-]
Abu Ubaidah Mashyhur bin Hasan
Salman-hafizhohullah- berkata dalam Al-Qoul Mubin (hal. 95), “Kita
bisa menyimpulkan dari pembahasan terdahulu bahwa nash-nash ucapan para ulama
dari berbagai tempat dan zaman menetapkan bahwa menjaharkan niat merupakan
bid’ah, dan barangsiapa yang menyatakan sunnah, maka ia sungguh telah berbuat
keliru atas nama Imam Asy-Syafi’iy”. [Lihat Al-Ifshoh (1/56),Al-Inshof
(1/142), Fath Al-Qodir (1/186),Majmu’ Al-Fatawa(22/223),
dan Maqoshid Al-Muakallafin fi Ma Yuta’abbad bihi Robbul Alamin (hal.
132 dan seterusnya)]
Terakhir, melafazhkan niat bukanlah madzhab Imam Asy-Syafi’i dan
kebanyakan para pengikutnya. Bahkan Imam Az-Zairazy dan An-Nawawy sendiri yang
terhitung orang terkemuka dalam madzhab Syafi’iyyah mengingkari pendapat bolehnya
melafazhkan niat sekalipun pendapat itu datangnya dari orang bermadzhab
Syafi’i. Demikianlah sewajarnya yang diikuti oleh kaum muslimin. Jika ia
menemukan suatu pendapat yang tak berdasarkan Sunnah, dan telah sampai padanya
kebenaran, ia berhak menyatakan pendapatnya keliru sekalipun berlawanan dengan
madzhab dan hawa nafsunya. [Lihat Tashhih Ad-Du’a (hal. 318) oleh
Syaikh Bakr Abu Zaid.]
Sumber : Almakassari.com, Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 09 Tahun I.
Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel.
Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust.
Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul
Qadir Al Atsary, Lc. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al
Atsary, Lc. Layout : Abu Muhammad Mulyadi. Untuk berlangganan hubungi
alamat di atas. (infaq Rp. 200,-/exp)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar